Pages

Pengikut

Tentangku

Wasis DPCoorporation. Diberdayakan oleh Blogger.

FECEBOOK

SPO

Selasa, 13 Desember 2016

drug delivery sistem


Sabtu, 26 Juni 2010
Sistem Penghantaran Obat
Sistem Penghantaran Obat
A. Pengertian Obat
Menurut PerMenKes 917/Menkes/Per/x/1993, obat (jadi) adalah sediaan atau paduan-paduan yang siap digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki secara fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosa, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi. 
Menurut Ansel (1985), obat adalah zat yang digunakan untuk diagnosis, mengurangi rasa sakit, serta mengobati atau mencegah penyakit pada manusia atau hewan. 
Obat dalam arti luas ialah setiap zat kimia yang dapat mempengaruhi proses hidup, maka farmakologi merupakan ilmu yang sangat luas cakupannya. Namun untuk seorang dokter, ilmu ini dibatasi tujuannya yaitu agar dapat menggunakan obat untuk maksud pencegahan, diagnosis, dan pengobatan penyakit. Selain itu, agar mengerti bahwa penggunaan obat dapat mengakibatkan berbagai gejala penyakit. (Bagian Farmakologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia) 
Obat merupakan sediaan atau paduan bahan-bahan yang siap untuk digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan, kesehatan dan kontrasepsi (Kebijakan Obat Nasional, Departemen Kesehatan RI, 2005). 
Obat merupakan benda yang dapat digunakan untuk merawat penyakit, membebaskan gejala, atau memodifikasi proses kimia dalam tubuh. 
Obat merupakan senyawa kimia selain makanan yang bisa mempengaruhi organisme hidup, yang pemanfaatannya bisa untuk mendiagnosis, menyembuhkan, mencegah suatu penyakit. 
Dalam pengertian umum, obat adalah suatu subtansi yang melalui efek kimianya membawa perubahan dalam fungsi biologi. Pada umumnya, molekul obat berinteraksi dengan molekul khusus dalam system biologic yang berperan sebagai pengatur disebut molekul reseptor. Untuk berinteraksi secara kimia dengan reseptornya, molekul obat harus mempunyai ukuran, muatan listrik, bentuk dan komposisi atom yang sesuai. Selanjutnya obat sering diberikan pada suatu tempat yang jauh dari tempat bekerjanya misalnya, sebuah pil ditelan peroral untuk menyembuhkan sakit kepala. Karena itu obat yang diperlukan harus mempunyai sifat-sifat khusus agar dapat dibawa dari tempat pemberian ke tempat bekerja.
B. Peran obat
Obat merupakan salah satu komponen yang tidak dapat tergantikan dalam pelayanan kesehatan. Obat berbeda dengan komoditas perdagangan, karena selain merupakan komoditas perdagangan, obat juga memiliki fungsi sosial. Obat berperan sangat penting dalam pelayanan kesehatan karena penanganan dan pencegahan berbagai penyakit tidak dapat dilepaskan dari tindakan terapi dengan obat atau farmakoterapi. Seperti yang telah dituliskan pada pengertian obat diatas, maka peran obat secara umum adalah sebagai berikut: 
1) Penetapan diagnosa 
2) Untuk pencegahan penyakit 
3) Menyembuhkan penyakit 
4) Memulihkan (rehabilitasi) kesehatan 
5) Mengubah fungsi normal tubuh untuk tujuan tertentu 
6) Peningkatan kesehatan 
7) Mengurangi rasa sakit 
C. Parameter – parameter farmakologi
Farmakokinetika Farmakokinetika merupakan aspek farmakologi yang mencakup nasib obat dalam tubuh yaitu absorbsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresinya (ADME). 
Obat yang masuk ke dalam tubuh melalui berbagai cara pemberian umunya mengalami absorpsi, distribusi, dan pengikatan untuk sampai di tempat kerja dan menimbulkan efek. Kemudian dengan atau tanpa biotransformasi, obat diekskresi dari dalam tubuh. Seluruh proses ini disebut dengan proses farmakokinetika dan berjalan serentak seperti yang terlihat pada gambar 1.1 dibawah ini. 
Gambar 1.1. Berbagai proses farmakokinetika obat
1. Absorpsi dan Bioavailabilitas 
Kedua istilah tersebut tidak sama artinya. Absorpsi, yang merupakan proses penyerapan obat dari tempat pemberian, menyangkut kelengkapan dan kecepatan proses tersebut. Kelengkapan dinyatakan dalam persen dari jumlah obat yang diberikan. Tetapi secara klinik, yang lebih penting ialah bioavailabilitas. Istilah ini menyatakan jumlah obat, dalam persen terhadap dosis, yang mencapai sirkulasi sistemik dalam bentuk utuh/aktif. Ini terjadi karena untuk obat-obat tertentu, tidak semua yang diabsorpsi dari tempat pemberian akan mencapai sirkulasi sestemik. Sebagaian akan dimetabolisme oleh enzim di dinding ususpada pemberian oral dan/atau di hati pada lintasan pertamanya melalui organ-organ tersebut. Metabolisme ini disebut metabolisme atau eliminasi lintas pertama (first pass metabolism or elimination) atau eliminasi prasistemik. Obat demikian mempunyai bioavailabilitas oral yang tidak begitu tinggi meskipun absorpsi oralnya mungkin hampir sempurna. Jadi istilah bioavailabilitas menggambarkan kecepatan dan kelengkapan absorpsi sekaligus metabolisme obat sebelum mencapai sirkulasi sistemik. Eliminasi lintas pertama ini dapat dihindari atau dikurangi dengan cara pemberian parenteral (misalnya lidokain), sublingual (misalnya nitrogliserin), rektal, atau memberikannya bersama makanan.
2. Distribusi
Setelah diabsorpsi, obat akan didistribusi ke seluruh tubuh melalui sirkulasi darah. Selain tergantung dari aliran darah, distribusi obat juga ditentukan oleh sifat fisikokimianya. Distribusi obat dibedakan atas 2 fase berdasarkan penyebarannya di dalam tubuh. Distribusi fase pertama terjadi segera setelah penyerapan, yaitu ke organ yang perfusinya sangat baik misalnya jantung, hati, ginjal, dan otak. Selanjutnya, distribusi fase kedua jauh lebih luas yaitu mencakup jaringan yang perfusinya tidak sebaik organ di atas misalnya otot, visera, kulit, dan jaringan lemak. Distribusi ini baru mencapai keseimbangan setelah waktu yang lebih lama. Difusi ke ruang interstisial jaringan terjadi karena celah antarsel endotel kapiler mampu melewatkan semua molekul obat bebas, kecuali di otak. Obat yang mudah larut dalam lemak akan melintasi membran sel dan terdistribusi ke dalam otak, sedangkan obat yang tidak larut dalam lemak akan sulit menembus membran sel sehingga distribusinya terbatas terurama di cairan ekstrasel. Distribusi juga dibatasi olehikatan obat pada protein plasma, hanya obat bebas yang dapat berdifusi dan mencapai keseimbangan. Derajat ikatan obat dengan protein plasma ditentukan oleh afinitas obat terhadap protein, kadar obat, dan kadar proteinnya sendiri. Pengikatan obat oleh protein akan berkurang pada malnutrisi berat karena adanya defisiensi protein.
3. Biotransformasi / Metabolisme 
Biotransformasi atau metabolisme obat ialah proses perubahan struktur kimia obat yang terjadi dalam tubuh dan dikatalis oleh enzim. Pada proses ini molekul obat diubah menjadi lebih polar, artinya lebih mudah larut dalam air dan kurang larut dalam lemak sehingga lebih mudah diekskresi melalui ginjal. Selain itu, pada umumnya obat menjadi inaktif, sehingga biotransformasi sangat berperan dalam mengakhiri kerja obat. Tetapi, ada obat yang metabolitnya sama aktif, lebih aktif, atau tidak toksik. Ada obat yang merupakan calon obat (prodrug) justru diaktifkan oleh enzim biotransformasi ini. Metabolit aktif akan mengalami biotransformasi lebih lanjut dan/atau diekskresi sehingga kerjanya berakhir. 
Enzim yang berperan dalam biotransformasi obat dapat dibedakan berdasarkan letaknya dalam sel, yakni enzim mikrosom yang terdapat dalam retikulum endoplasma halus (yang pada isolasi in vitro membentuk mikrosom), dan enzim non-mikrosom. Kedua macam enzim metabolisme ini terutama terdapat dalam sel hati, tetapi juga terdapat di sel jaringan lain misalnya ginjal, paru, epitel, saluran cerna, dan plasma. 
4. Ekskresi 
Obat dikeluarkan dari tubuh melalui berbagai organ ekskresi dalam bentuk metabolit hasil biotransformasi atau dalam bentuk asalnya. Obat atau metabolit polar diekskresi lebih cepat daripada obat larut lemak, kecuali pada ekskresi melalui paru. Ginjal merupakan organ ekskresi yang terpenting. Ekskresi disini merupakan resultante dari 3 preoses, yakni filtrasi di glomerulus, sekresi aktif di tubuli proksimal, dan rearbsorpsi pasif di tubuli proksimal dan distal.
Ekskresi obat melalui ginjal menurun pada gangguan fungsi ginjal sehingga dosis perlu diturunkan atau intercal pemberian diperpanjang. Bersihan kreatinin dapat dijadikan patokan dalam menyesuaikan dosis atau interval pemberian obat. 
Ekskresi obat juga terjadi melalui keringat, liur, air mata, air susu, dan rambut, tetapi dalam jumlah yang relatif kecil sekali sehingga tidak berarti dalam pengakhiran efek obat. Liur dapat digunakan sebagai pengganti darah untuk menentukan kadar obat tertentu. Rambut pun dapat digunakan untuk menemukan logam toksik, misalnya arsen, pada kedokteran forensik.
Farmakodinamika Farmakodinamika mempelajari efek obat terhadap fisiologi dan biokimia berbagai organ tubuh serta mekanisme kerjanya. Tujuan mempelajari mekanisme kerja obat ialah untuk meneliti efek utama obat, mengetahui interaksi obat dengan sel, dan mengetahui urutan peristiwa serta spektrum efek dan respon yang terjadi. Pengetahuan yang baik mengenai hal ini merupakan dasar terapi rasional dan berguna dalam sintesis obat baru. 
1. Mekanisme Kerja Obat 
Efek obat umumnya timbul karena interaksi obat dengan reseptor pada sel suatu organisme. Interaksi obat dengan reseptornya ini mencetuskan perubahan biokimiawi dan fisiologi yang merupakan respons khas untuk obat tersebut. Reseptor obat merupakan komponen makromolekul fungsional yang mencakup 2 konsep penting. Pertama, bahwa obat dapat mengubah kecepatan kegiatan faal tubuh. Kedua, bahwa obat tidak menimbulkan suatu fungsi baru, tetapi hanya memodulasi fungsi yang sudah ada. Walaupun tidak berlaku bagi terapi gen, secara umum konsep ini masih berlaku sampai sekarang. Setiap komponen makromolekul fungsional dapat berperan sebagai reseptor obat, tetapi sekelompok reseptor obat tertentu juga berperan sebagai reseptor yang ligand endogen (hormon, neurotransmitor). Substansi yang efeknya menyerupai senyawa endogen disebut agonis. Sebaliknya, senyawa yang tidak mempunyai aktivitas intrinsik tetapi menghambat secara kompetitif efek suatu agonis di tempat ikatan agonis (agonist binding site) disebut antagonis.
2. Reseptor Obat 
Struktur kimia suatu obat berhubunga dengan afinitasnya terhadap reseptor dan aktivitas intrinsiknya, sehingga perubahan kecil dalam molekul obat, misalnya perubahan stereoisomer, dapat menimbulkan perubahan besar dalam sidat farmakologinya. Pengetahuan mengenai hubungan struktur aktivitas bermanfaat dalam strategi pengembangan obat baru, sintesis obat yang rasio terapinya lebih baik, atau sintesis obat yang selektif terhadap jaringan tertentu. Dalam keadaan tertentu, molekul reseptor berinteraksi secara erat dengan protein seluler lain membentuk sistem reseptor-efektor sebelum menimbulkan respons. 
3. Transmisi Sinyal Biologis 
Penghantaran sinyal biologis ialah proses yang menyebabkan suatu substansi ekstraseluler (extracellular chemical messenger) menimbulkan suatu respons seluler fisiologis yang spesifik. Sistem hantaran ini dimulai dengan pendudukan reseptor yang terdapat di membran sel atau di dalam sitoplasmaoleh transmitor. Kebanyakan messenger ini bersifat polar. Contoh, transmitor untuk reseptor yang terdapat di membran sel ialah katekolamin, TRH, LH. Sedangkan untuk reseptor yang terdapat dalam sitoplasma ialah steroid (adrenal dan gonadal), tiroksin, vit. D. 
4. Interaksi Obat-Reseptor 
Ikatan antara obat dan reseptor misalnya ikatan substrat dengan enzim, biasanya merupakan ikatan lemah (ikatan ion, hidrogen, hidrofobik, van der Waals), dan jarang berupa ikatan kovalen. 
5. Antagonisme Farmakodinamika 
Secara farmakodinamika dapat dibedakan 2 jenis antagonisme, yaitu antagonisme fisiologik dan antagonisme pada reseptor. Selain itu, antagonisme pada reseptor dapat bersifat kompetitif atau nonkompetitif. Antagonisme merupakan peristiwa pengurangan atau penghapusan efek suatu obat oleh obat lain. Peristiwa ini termasuk interaksi obat. Obat yang menyebabkan pengurangan efek disebut antagonis, sedang obat yang efeknya dikurangi atau ditiadakan disebut agonis. Secara umum obat yang efeknya dipengaruhi oleh obat lain disebut obat objek, sedangkan obat yang mempengaruhi efek obat lain disebut obat presipitan. 
6. Kerja Obat yang tidak Diperantarai Reseptor 
Dalam menimbulkan efek, obat tertentu tidak berikatan dengan reseptor. Obat-obat ini mungkin mengubah sifat cairan tubuh, berinteraksi dengan ion atau molekul kecil, atau masuk ke komponen sel. 
7. Efek Obat 
Efek obat yaitu perubahan fungsi struktur (organ)/proses/tingkah laku organisme hidup akibat kerja obat. 
Obat akan bekerja dengan manjur dan aman jika kadarnya berada di atas konsentrasi minimum efektif (MEC) tetapi di bawah konsentrasi maksimum yang dapat menimbulkan gejala keracunan (MTC). Makin dekat jarak antara MEC dan MTC, maka perhitungan farmakokinetika dilakukan dengan teliti.Pada umumnya obat diberikan dalam bentuk sediaan seperti tablet, kapsul , suspensi dan lain-lain. Suatu bentuk sediaan obat terdiri dari bahan obat dan bahan-bahan pembantu yang tersusun dalam formula dan diikuti dengan petunjuk cara proses pembuatan. Kita mengetahui bahwa sangat banyak sediaan farmasi dengan obat, dosis dan bentuk sediaan yang sama, diproduksi oleh industri-industri farmasi dengan nama-nama yang berbeda.
Dengan berbagai alasan dari industri-industri, maka umumnya formula sediaan tersebut berbeda. Pada akhir tahun lima puluhan dan awal tahun enam puluhan bermunculan laporan, publikasi dan diskusi yang mengemukakan bahwa banyak obat-obat dengan kandungan, dosis dan bentuk sediaan yang sama dan dikeluarkan oleh industri farmasi yang berbeda memberikan kemanjuran yang berbeda. Laporan-laporan dan publikasi-publikasi tersebut menyebabkan munculnya ilmu baru dalam bidang farmasi yaitu biofarmasi. Riegelman, John Wagner dan Geihard Levy dinamakan sebagai pelopor biofarmasi. Pada tahun 1961 dalam suatu artikel review di Journal of Pharmaceutical Sciences dikemukakan definisi dari biofarmasi sebagai berikut Biofarmasi adalah cabang ilmu farmasi yang mempelajari hubungan antara sifat-sifat fisiko kimia dari bahan baku obat dan bentuk sediaan dengan efek terapi sesudah pemberian obat tersebut kepada pasien. Perbedaan sifat fisiko kimia dari sediaan ditentukan oleh bentuk sediaan, formula dan cara pembuatan, sedangkan perbedaan sifat fisiko kimia bahan baku obat dapat berasal dari bentuk bahan baku ( ester , garam, kompleks atau polimorfisme) dan ukuran partikel.
Selanjutnya perkembangan ilmu biofarmasi , melihat bentuk sediaan sebagai suatu “drug delivery system” yang menyangkut pelepasan obat berkhasiat dari sediaannya, absorpsi dari obat berkhasiat yang sudah dilepaskan, distribusi obat yang sudah diabsorpsi oleh cairan tubuh, metabolisme obat dalam tubuh serta eliminasi obat dari tubuh. Sedangkan drug delivery sistem adalah suatu bentuk sediaan yang melepaskan satu atau lebih bahan berkhasiat secara kontinyu menurut pola yang telah ditetapkan sebelumnya atau pada organ sasaran yang spesifik. Sedangkan kecepatan pelepasan obat dipengaruhi oleh bentuk sediaan, formula dan cara pembuatan sehingga bisa terjadi sebagian obat dilepas disaluran cerna dan sebagian lagi masih belum dilepas sehingga belum sempat diabsorpsi sudah keluar dari saluran cerna. Malah sekarang ini pelepasan obat dari sediaan bisa diatur atau dikontrol sehingga absorpsi bisa terjadi lama di saluran cerna, maka timbulah sediaan farmasi yang semula dipakai tiga kali sehari menjadi satu kali sehari. Umumnya obat yang sudah terlarut dalam cairan saluran cerna bisa diabsorpsi oleh dinding saluran cerna, tetapi dilain pihak obat yang sudah terlarut itu bisa terurai tergantung dari sifatnya , sehingga sudah berkurang obat yang diabsorpsi. 
Sedangkan sistem penghantaran obat yang ideal : 
1. satu kali pemberian untuk seluruh periode pengobatan
2. Menghasilkan kadar obat dalam darah yang konstan selama periode waktu tertentu
3. Efek obat optimal.
4. Menghantarkan obat langsung kesasaran (drug targeting)
Sebagai contoh sistem penghantaran obat yaitu sediaan oral ( tablet enziplex ) yang dipakai digunakan sebagai obat untuk membantu proses pencernaan dan meringankan rasa mual, kembung, nyeri lambung, dan sebab akibat gangguan pencernaan. 
Suatu obat dapat mencapai tempat kerja yang diinginkan setelah masuk dalam tubuh dengan jalur yang terbaik. Dalam beberapa hal, obat dapat diberikan langsung pada tempatnya bekerja., seperti pemberian topikal obat anti-inflamasi pada kulit atau membran mukosa yang radang. Dalam keadaan lain obat dapat diberikan intravena dan beredar dalam darah langsung ke saluran darah bagian tubuh tempat efek obat diharapakan. Lebih umum lagi, obat diberikan dalam kompartemen tubuh, misalnya usus dan mesti berpindah ketempatnya bekerja yaitu kompartemen yang lain misalnya otak. Dalam hal ini obat harus diabsorbsi kedalam darah dari tempat pemberiannya dan didistribusikan ketempatnya bakerja, melalui permeasi berbagai penghambat yang memisahkan kompartemen ini. Obat yang diberikan peroral seperti enziplex untuk mendapatkan efek disusunan saraf pusat perlu melewati sawar seperti didinding usus, dinding kapiler yang mengaliri usus sawar otak-darah yaitu dinding kapiler yang mengaliri otak. Akhirnya sesudah memberikan efek obat harus dikeluarkan dengan kecepatan tertentu melalui inaktifasi metabolik, melalui eksresi dari tubuh atau gabungan kedua proses ini. 
DAFTAR PUSTAKA
Anief, Moh. Drs, Apt. Ilmu Farmasi. 1984. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Ansel, C. Howard. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. UI Press
Sanjoyo. Raden. Obat ( Biomedik Farmakologi ). Universitas Gadjah Mada. Diambil tanggal 1 Februari jam 20.00


2.3 SISTEM DISTRIBUSI OBAT
Sistem distribusi obat di rumah sakit digolongkan berdasarkan ada tidaknya satelit/depo farmasi dan pemberian obat ke pasien rawat inap.
Berdasarkan ada atau tidaknya satelit farmasi, sistem distribusi obat dibagi menjadi dua sistem, yaitu:
1. Sistem pelayanan terpusat (sentralisasi)
2. Sistem pelayanan terbagi (desentralisasi)
Berdasarkan distribusi obat bagi pasien rawat inap, digunakan empat sistem, yaitu:
1. Sistem distribusi obat resep individual atau permintaan tetap
2. Sistem distribusi obat persediaan lengkap di ruang
3. Sistem distribusi obat kombinasi resep individual dan persediaan lengkap di ruang
4. Sistem distribusi obat dosis unit.

2.3.1 Metode Distribusi Obat Berdasarkan Ada atau Tidaknya Satelit Farmasi
1. Sistem Pelayanan Terpusat (Sentralisasi)
Sentralisasi adalah sistem pendistribusian perbekalan farmasi yang dipusatkan pada satu tempat yaitu instalasi farmasi. Pada sentralisasi, seluruh kebutuhan perbekalan farmasi setiap unit pemakai baik untuk kebutuhan individu maupun kebutuhan barang dasar ruangan disuplai langsung dari pusat pelayanan farmasi tersebut. Resep orisinil oleh perawat dikirim ke IFRS, kemudian resep itu diproses sesuai dengan kaidah ”cara dispensing yang baik dan obat disiapkan untuk didistribusikan kepada penderita tertentu.”
Keuntungan sistem ini adalah:
a. Semua resep dikaji langsung oleh apoteker, yang juga dapat memberi informasi kepada perawat berkaitan dengan obat pasien,
b. Memberi kesempatan interaksi profesional antara apoteker-dokter-perawat-pasien,
c. Memungkinkan pengendalian yang lebih dekat atas persediaan,
d. Mempermudah penagihan biaya pasien.
Permasalahan yang terjadi pada penerapan tunggal metode ini di suatu rumah sakit yaitu sebagai berikut:
a) Terjadinya delay time dalam proses penyiapan obat permintaan dan distribusi obat ke pasien yang cukup tinggi,
b) Jumlah kebutuhan personel di Instalasi Farmasi Rumah Sakit meningkat,
c) Farmasis kurang dapat melihat data riwayat pasien (patient records) dengan cepat,
d) Terjadinya kesalahan obat karena kurangnya pemeriksaan pada waktu penyiapan komunikasi.
Sistem ini kurang sesuai untuk rumah sakit yang besar, misalnya kelas A dan B karena memiliki daerah pasien yang menyebar sehingga jarak antara Instalasi Farmasi Rumah Sakit dengan perawatan pasien sangat jauh.


drug delivery sistem


PENDAHULUAN
Peluang penemuan dan pengembangan baru dalam bidang farmasi adalah meliputi: penemuan obat baru (New Chemical Entity, NCE), efek farmakologi baru dari obat yang sudah habis masa patennya, dan komposisi baru dari sistem penghantaran (New Drug Delivery System, NDDS).
            Pada saat ini dikembangkan pula cara pemasukan obat baru dengan tujuan sistemik ke dalam tubuh melalui pintu masuk (entry points) baru yang selama ini belum dikembangkan, seperti melalui kulit (transdermal), selaput mukosa (inytranasal, intraokular, intravaginal, sistem oral sasaran kolon, dan sebagainya). Semuanya dirangkum dalam kelompok sistem penghantaran obat baru.
Istilah “Sistem Penghantaran Obat” (SPO) atau Drug Delivery System pada dasarnya adalah istilah yang menggambarkan bagaimana suatu obat dapat sampai ke tempat target aksinya. Istilah ini juga sering dipertukarkan dengan drug product (produk obat) dan dosage form. Hanya saja, istilah SPO memiliki konsep yang lebih comprehensive yang meliputi: formulasi obat, interaksi yang mungkin terjadi antara obat yang satu dengan obat yang lainnya, matriks, container, dan pasien
Drug delivery adalah metode atau proses senyawa untuk mencapai efek terapeutik pada manusia atau hewan. Obat dilindungi paten teknologi yang mengubah profil pelepasan obat, penyerapan, distribusi dan eliminasi untuk kepentingan produk memperbaiki kemanjuran dan keselamatan, serta kenyamanan dan kepatuhan pasien. Sebagian besar metode-metode umum termasuk pilihan pengiriman non-invasif peroral (melalui mulut), topikal (kulit), transmucosal (hidung, buccal / sublingual, vagina , okular dan dubur) dan inhalasi rute
 Banyak obat-obatan seperti peptida dan protein, antibodi, vaksin dan gen berdasarkan obat-obatan, pada umumnya tidak dapat disampaikan dengan menggunakan rute ini karena mereka mungkin dapat mengalami degradasi enzimatik atau dapat tidak dapat diserap ke dalam sirkulasi sistemik efisien karena ukuran molekul dan masalah biaya untuk menjadi terapi efektif. Untuk alasan ini banyak protein dan peptida obat-obatan harus disampaikan oleh injeksi. Sebagai contoh, banyak imunisasi didasarkan pada protein pengiriman obat-obatan dan sering dilakukan melalui suntikan. Saat ini usaha di bidang pemberian obat mencakup pengembangan pengiriman ditargetkan di mana obat hanya aktif di area target tubuh (misalnya, dalam kanker jaringan) dan pelepasan berkelanjutan formulasi obat yang dilepaskan selama periode waktu dengan cara yang terkendali dari formulasi.

           







ISI
Masalah yang sering dihadapi dalam merancang dan mengembangkan sediaan adalah masalah kelarutan obat. Teori tentang kelarutan merupakan konversi dari suatu keadaan menuju keadaan lain, dan melibatkan fenomena kesetimbangan.Fenomena  ini digunakan untuk memperkirakan kelarutan dan menyederhanakann pengembangan formulasi, sesuatu yang  tidak selalu mudah (apalagi untuk sediaan parenteral).
. Cara pendekatan pertama yang lazim digunakan untuk meningkatkan kelarutan air dalam suatu obat adalah membentuk garam larut air. Jika pembentukan garam tidak mungkin (misalnya karena garam yang terbentuk sangat tidak stabil,atau tidak menghasilkan molekul yang cukup larut misalnya indometasin natrium injeksi yang hanya stabil selama 14 hari saja dalam bentuk larutan., maka perlu digunakan suatu seri pendekatan formulasi. Pengaturan pH mungkin digunakan untuk meningkatkan kelarutan air dari obat terionisasi. Pendekatan lainnya adalah dengan menggunakan kosolven yagn tercampur air, atau surfaktan (solubisasi miselar) dan agen pengomplek (misal turunan santin dengan asam salisilat dan benzoat: komplek inklusi dengan siklodekstrin) dan sebagainya.
Saat ini pemanfaatan emulsi dan sistem penghantaran obat koloidal lain (misal liposom, niosom dan sebagainya) untuk pemberian obat secara iv telah digunakan secara luas dan cukup berhasil. Sistem penghantaran obat ini mengubah obat menjadi obat terjerat atau asosiasi obat yang menunjukkan sifat yang berbeda dari obat bebas (senyawa induk) Sistem ini membuka pula peluang untuk memperlama keberadaan obat dalam aliran darah atau memodifikasi disposisi obat dalam darah.
Jika calon obat cukup larut dalam lipid, maka bentuk emulsi dapat digunakan sebagai alternatif penghantaran obat. Emulsi mengandung minyak nabati yang kaya akan trigliserida dan lesitin sebagai surfaktan, serta dapat pula mengandung surfaktan nonionik. Obat tidak larut dapat diinkorpoorasikan ke dalam emulsi lemak komersial(hal ini akdang-kadang tidak berhasil baikkarena oabt dapat memepengaruhi stabilitas emulsi komersial). Atau suatu emulsi dapat dibentuk dari minyak (yang mengandung obat disolubilisasi di dalamnya), seperti pembentukan sediaan emulsi parenteral.
Perkembangan sistem penghantaran obat belakangan ini telah sampai juga pada penggunaan teknologi nanopartikel, yang diharapkan dapat memperbaiki sifat penghantaran obat sebelumnya (nasal, transdermal, depot, PEG-drug, dan liposom).
Beberapa keunggulan nanoteknologi ketika diaplikasikan kepada sistem penghantaran obat antara lain, dapat meningkatkan kepatuhan pasien mengkonsumsi obat karena bentuk sediannya dapat diterima dengan baik oleh pasien, meningkatkan efikasi obat, mengurangi efek samping, dan tentu saja berimbas pada pencapian kualitas hidup pasien yang lebih baik.

Nanoteknologi sendiri dipahami sebagai pengembangan senyawa dalam ukuran 1 – 1000 nm. Definisi lain oleh The Academy of Pharmaceutical Sciences of Great Britain, bahwa nanopharmaceutical merupakan sistem yang kompleks terdiri sekurangnya 2 komponen, salah satunya adalah zat aktif obat, dan senyawa yang dihasilkan berukuran nano antara 1 – 1000 nm. Berdasarkan sifat fisik, nanopartikel dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu solid nanoparticles(polymeric np, solid lipid np (SLN), nanosuspension, dll), semisolid nanoparticles (liposom, neosome), dan liquid nanoparticles (microemulsion, nanoemulsion, dll).
            Menyikapi hal ini,Prof. Garnpimol G. Ritthidej, Ph.D menyampaikan hasil studi dan penelitian beliau tentang nanopartikel, meliputi polymeric nanoparticles, solid lipid nanoparticles (SLN), dan microemulsion.Saat ini beliau telah selesai mengembangkan chitosan sebagai adjuvant Japanese ecephalitis vaccine per-oral, sehingga sangat cocok mengatasi problem pemberian vaksin konvensional (menggunakan jarum suntik). Lebih jauh beliu menjelaskan bagaimana cara memilih surfaktan yang aman bagi pasien, karena salah satu faktor yang paling mempengaruhi formulasi nanopartikel adalah ketepatan pemilihan surfaktan. Beliau juga menyampaikan beberapa metode preparasi SLN, antara lain dengan High Presure Homogenization (HPH), High Shear Homogenization with ultrasound, pengenceran mikroemulsi, dan emulsion with solvent evaporation. Beliau bahkan telah mengembangkan formula obat diltiazem HCl, teofilin, ibuprofen, dan amphotericin B dalam bentuk SLN, dengan efikasi dan efek samping yang lebih baik dibandingkan produk yang ada dipasaran saat ini.
 .Hal – hal penting yang menjadi tujuan dalam pengembangan system penghantaran obat adalah terwujudnya suatu sediaan obat yang ideal atau setidaknya mendekati ideal yaitu sediaan obat yang:
1. Cukup diberikan satu kali saja selama masa terapi
2. Langsung dapat didistribusikan ke tempat aksinya dan memiliki adverse effect yang seminimal mungkin
Untuk mencapai tujuan tersebut, obat didesain sedemikian rupa dengan mempertimbangkan banyak faktor seperti farmakokinetik, farmakodinamik, kenyamanan pasien, dsb. Bredasarkan pertimbangan – pertimbangan tersebut, barulah diputuskan apakah suatu obat cocok diformulasikan sebagai sediaan obat konvensional atau harus diformulasikan menjadi sediaan obat termodifikasi (modified – release drug product).
Sebenarnya, perbedaan utama antara Conventional Drug Product dengan Modified–Release (MR) Drug Product terletak pada kapan sediaan obat harus melepaskan obatnya. Conventional Drug Product akan melepaskan obatnya segera setelah obat dikonumsi (oleh karenanya sering disebut sebagai sediaan Immediate Release, IR), baik itu dikonsumsi secara per oral maupun melalui jalur administrasi yang lain, sedangkan MR sebaliknya. Dia didesain untuk tidak segera melepaskan obatnya setelah dikonsumsi. Penundaan ini bisa berdasarkan waktu (aspek temporal) atau tempat absorbsi (aspek spasial). Baik MR temporal maupun MR spasial keduanya bertujuan untuk mendapatkan profil kadar obat dalam plasma yang optimal.
MR dapat diberikan melalui jalur pemberian mana pun baik melalui oral, maupun paranteral seperti implant (susuk KB), liposom, beberapa sediaan transdermal, dll. Namun, MR oral lebih banyak berkembang dan lebih sering digunakan. Oleh karenanya, dalam tulisan singkat ini akan lebih banyak bercerita tentang MR oral. Beberapa model MR oral yang beredar di pasaran antara lain:
1. Delayed Release (DR). Misalnya menggunakan teknik enteric coating
2. Site specific release. Dilepaskan ketika sediaan obat mencapai lokasi tertentu dari GI tract. Misalanya desain sediaan obat yang ditujukan untuk dilepaskan di kolon, dsb
3. Extended Release (ER). Istilah ini juga sering dipertukarkan dengan Prolonged Release, Sustained Release (SR), dan Controlled Release (CR).
4. Programmed Release.
Beberapa keuntungan yang dapat diperoleh dari MR antara lain:
1. Mengurangi frekuensi pemakaian obat.
2. Meningkatkan patient convenience dan patient compliance yang pada gilirannya diharapkan dapat memperbesar peluang tercapainya target terapi.
3. Menghindari pemakaian obat pada saat–saat yang “merepotkan” atau saat–saat yang mungkin dilupakan oleh pasien, misalnya pada malam hari
4. Mengurangi fluktuasi kadar obat dalam darah
5. Mengkondisikan agar efek obat lebih uniform
6. Mengurangi risiko iritasi saluran cerna
7. Mengurangi efek samping
Kekurangan sediaan MR:
1. Biaya. Formulasi MR merupakan formulasi yang mempergunakan teknologi yang relatif lebih canggih daripada teknologi yang biasa digunakan untuk IR sehingga wajar jika biaya yang diperlukan pun lebih mahal.
2. IVIVC seringkali jelek. Sulit sekali mendesain sistem in vitro yang dapat menggambarkan perubahan keadaan in vivo dari satu segmen GIT ke segmen GIT yang lain sehingga wajar jika IVIVC untuk MR seringkali tidak sebaik yang diharapkan.
3. Dose dumping. Ini adalah masalah utama dalam formulasi MR. Sebagai ilustrasi (semoga dapat menggambarkan): Obat yang diformulasikan dalam MR selalu diberikan dalam dosis yang lebih besar daripada dosis satu kali minum. Mungkin dosis yang seharusnya diberikan beberapa kali dalam sehari hanya diberikan satu kali (tentu dalam jumlah total yang sama) kemudian diharapkan dapat terlepas sedikit demi sedikit sehingga efeknya sama seperti jika mengkonsumsi obat tersebut secara bertahap (beberapa kali sehari) secara patuh.
4. Mengurangi fleksibilitas pemberian obat
5. Meningkatkan kemungkinan first pass effect
6. Umumnya bioavailabilitas MR kurang baik
7. Efektivitas pelepasan obat dipengaruhi dan dibatasi oleh GI residence time.
Idealnya, suatu sediaan MR akan melepaskan obatnya mengikuti orde 0 (nol) atau dalam debit yang sama dari waktu ke waktu. Lebih jauh lagi diharapkan sediaan MR dapat melepaskan obat dalam jumlah yang sama seperti jumlah obat yang telah tereliminasi (baik melalui distribusi, metabolisme, maupun ekskresi) sehingga jumlah obat yang ada di dalam darah senantiasa konstan. Dengan demikian, harapannya efek yang diberikan akan selalu sama dari waktu ke waktu. Namun seringkali dalam melepaskan obatnya MR tidak mengikuti orde 0 karena ada banyak peristiwa yang tak terprediksikan yang terjadi dalam GIT (seperti yang telah diungkapkan di atas bahwa sulit sekali mendesain keadaan in vitro yang menggambarkan berbagai perubahan yang terjadi dari segmen GIT satu yang segmen yang lain sehingga nasib MR dalam GIT relatif sulit diprediksi).
Selain itu, formulasi MR juga harus mempertimbangkan aspek fisikokimia obat yang akan diformulasikan. Misalnya kelarutan, dll. Perlu juga diperhatikan terkait t ½ eliminasi, dosis, indeks terapi, BCS, dsb. Terkait dengan kriteria – kriteria tersebut, beberapa obat dengan sifat – sifat berikut tidak cocok untuk dibuat dalam sediaan MR:
1. Sediaan dengan waktu paro eliminasi yang pendek (kurang dari 4 jam). Jiak suatu obat yang mempunyai t ½ eliminasi pendek ingin diformulasikan dalam bentuk MR, maka dosis yang diberikan harus cukup besar. Masalah timbul jika ternyata dia memiliki therapeutic range yang sempit.
2. Sediaan obat dengan waktu paro yang panjang ( lebih dari 20 jam). Obat dengan waktu paro panjang biasanya juga memiliki interval konsumsi yang relatif panjang, sehingga pembentukan MR3 tidak perlu
4. Absorbsi rendah. Ingat aturan 5 (rule of five).
5. Absorbsi secara aktif
6. Kelarutan rendah
7. First Pass Effect yang Ekstensif
 NarULytHa's RooM   


Sistem Distribusi Obat di Rumah Sakit

TINJAUAN PUSTAKA
A.  Sistem Distribusi Obat di Rumah Sakit
Proses  distribusi yaitu  penyerahan  obat  sejak  setelah  sediaan  disiapkan  oleh  IFRS  sampai  diantarkan
kepada  perawat,  dokter  atau  profesional pelayanan  kesehatan  lain  untuk  diberikan  kepada  penderita.  Sistem
distribusi  obat  di  rumah  sakit  untuk  pasien  rawat  inap  adalah  tatanan  jaringan  sarana,  personel,  prosedur  dan
jaminan mutu yang serasi, terpadu, dan berorientasi penderita dalam kegiatan penyampaian sediaan obat beserta
informasinya kepada pasien. Sistem distribusi obat untuk pasien rawat inap yang diterapkan di rumah sakit sangat
bervariasi, hal ini tergantung pada kebijakan rumah sakit, kondisi dan keberadaan fasilitas fisik, personel dan tata
ruang rumah sakit. 
Suatu  sistem  distribusi  obat  yang  efisien  dan  efektif  sangat  tergantung  pada  desain  sistem  dan
pengelolaan  yang  baik.  Suatu  sistem  distribusi obat  yang  di desain  dan  di  kelola  dengan  baik  harus  dapat
mencapai berbagai hal sebagai berikut :
-     Ketersediaan obat tetap terpelihara
-     Mutu dan kondisi sediaan obat tetap stabil dalam seluruh proses distribusi
-     Kesalahan obat minimal dan keamanannya maksimum pada penderita  
-     Obat yang rusak dan kadaluarsa sangat minimal
-     Efisiensi dalam penggunaan sumber terutama personel
-     Meminimalkan pencurian, kehilangan, pemborosan, dan penyalah gunaan obat
-     IFRS  mempunyai  akses  dalam  semua  tahap  produksi  untuk  pengendalian,  pemantauan  dan  penerapan
pelayanan farmasi klinik
-     Terjadinya interaksi antara dokter-apoteker-perawat-penderita
-     Harga terkendali
-     Meningkatnya penggunaan obat yang rasional
Berdasarkan distribusi obat untuk pasien rawat inap, ada empat sistem yang digunakan yaitu :
1.   Sistem floor stock lengkap
2.   Sistem resep individu atau permintaan lengkap
3.   Sistem distribusi obat dosis unit (UDDD/Unit Dose Drug Distribution)
4.   Sistem kombinasi resep individu, floor stock lengkap dan distribusi obat dosis unit.
Berdasarkan ada atau tidaknya satelit farmasi, sistem distribusi obat dibagi menjadi dua sistem, yaitu :
1.   Sistem pelayanan terpusat (sentralisasi)
2.   Sistem pelayanan terbagi (desentralisasi)

B.  Metode Distribusi Obat untuk Pasien Rawat Inap
1.   Sistem floor stock lengkap
Adalah  suatu  sistem  pengelolaan  dan  distribusi obat  sesuai  dengan  yang  ditulis  oleh  dokter  pada
resep obat yang disiapkan oleh perawat dan persediaan obatnya juga berada di ruang perawat dan langsung
diberikan pada pasien diruang rawat inap tersebut. 
Penggunaan  sistem    floor  stock  lengkap  dianjurkan  untuk  diminimalkan  agar  menjamin
pengemasan  control dan  identifikasi  obat  walaupun  sistem  ini tetap  dipertahankan  pada  kondisi  tertentu
seperti :
-    Dalam bagian emergensi dan ruang operasi, dimana obat biasanya harus selalu cepat tersedia segera
setelah mendapat resep dokter.
-    Pada  situasi  yang  dapat  mengancam  kehidupan  pasien,  ketersediaan  obat-obat  di sekitar  pasien
sangat dibutuhkan.
-    Obat-obatan dengan harga rendah dan biasa dipakai(high volume drug) dapat dikelola dengan cara
ini dengan catatan kemungkinan terjadi medication erroryang kecil.
Sistem  ini  sekarang  tidak  digunakan  lagi  karena  tanggung  jawab  besar  dibebankan  pada  perawat  yaitu
menginterpretasikan resep dan menyiapkan obat yang sebetulnya adalah tanggung jawab apoteker. 
Keuntungan sistem ini yaitu :
-    Obat yang diperlukan segera tersedia bagi pasien
-    Peniadaan pengembalian obat yang tidak terpakai ke IFRS
-    Pengurangan penyalinan resep 
-    Pengurangan jumlah personel IFRS
Keterbatasan sistem ini :
-    Kesalahan obat sangat meningkat karena resep obat tidak dikaji langsung oleh apoteker
-    Persediaan obat di ruang perawat meningkat dengan fasilitas ruangan yang sangat terbatas
-    Pencurian obat meningkat
-    Meningkatnya bahaya karena kerusakan obat
-    Penambahan modal investasi untuk menyediakan fasilitas penyimpanan obat sesuai di setiap daerah
perawatan pasien
-    Diperlukan waktu tambahan bagi perawat untuk menangani obat
-    Meningkatnya kerugian karena kerusakan obat
2.   Sistem resep individual/permintaan lengkap
Sistem distribusi obat resep individual adalah sistem pengelolaan dan distribusi obat oleh IFRS sentral
sesuai dengan yang tertulis pada resep yang ditulis dokter untuk setiap  penderita. Dalam sistem ini, semua
obat  yang  diperlukan  untuk  pengobatan  di dispensing  dari IFRS. Resep  asli  dikirim  ke  IFRS  oleh  perawat,
kemudian  resep  itu  diproses  sesuai dengan  cara  dispensing  yang  baik  dan  obat  siap  untuk  didistribusikan
kepada pasien. 
Keuntungan sistem distribusi resep individual :
-    Semua resep dikaji langsung oleh apoteker yang dapat memberi keterangan atau informasi kepada
perawat berkaitan dengan obat yang dipakai.
-    Memberi kesempatan interaksi profesional antara apoteker-dokter-perawat-penderita.
-    Pengendalian perbekalan yang mudah
-    Mempermudah penagihan biaya kepada pasien
Keterbatasan dalam sistem distribusi resep individual :
-    Kemungkinan keterlambatan sediaan obat sampai ke penderita
-    Jumlah kebutuhan personel di IFRS meningkat
-    Memerlukan jumlah perawat waktu yang lebih banyak untuk penyimpanan  obat di ruangan  pada
waktu konsumsi obat
-    Terjadinya kesalahan obat karena kurang pemeriksaan sewaktu penyiapan konsumsi.
3.   Kombinasi Sistem Resep Individu dan Floor Stock Lengkap
Sistem kombinasi ini biasanya diadakan untuk mengurangi beban kerja IFRS. Obat yang disediakan
di ruang perawat adalah obat yang diperlukan oleh banyak pasien, setiap hari diperlukan dan biasanya adalah
obat  yang  harganya  relatif  murah.  Jenis  dan  jumlah  obat  yang  tersedia  di  ruangan    ditetapkan  oleh  PFT
dengan masukan dari IFRS dan pelayanan keperawatan.]

Keuntungan sistem ini :
-    Semua resep individu dikaji langsung oleh apoteker
-    Adanya kesempatan interaksi profesional antara apoteker-dokter-perawat-pasien
-    Obat yang diperlukan dapat segera tersedia bagi pasien
-    Beban IFRS dapat berkurang
Keterbatasan sistem ini adalah :
-    Kemungkinan keterlambatan sediaan obat sampai ke pasien (obat resep individu)
-    Kesalahan obat dapat terjadi (obat dari floor stock lengkap)

4.   Sistem Distribusi Obat Dosis Unit/Unit Dose Drug Distribution (UDDD)
Obat  dosis  unit  adalah  obat  yang  disorder  oleh  dokter  untuk  penderita,  terdiri atas  satu  atau
beberapa  jenis obat yang masing-masing dalam  kemasan  dosis  unit  tunggal dalam jumlah persediaan  yang
cukup untuk suatu waktu tertentu.
Sistem ini memerlukan biaya awal yang besar, akan tetapi keterlibatan perawat dalam menyiapkan
obat tidak begitu tinggi, selain itu mengurangi kemungkinan adanya kesalahan obat.
Unsur  khusus  yang  menjadi dasar  semua  sistem  dosis  unit  adalah;  obat  dikemas  dalam  kemasan
dosis unit tunggal, didispensing dalam bentuk siap konsumsi, dan untuk kebanyakan obat tidak lebih dari 24
jam persediaan dosis, diantarkan ke ruang perawatan penderita pada setiap waktu.
Ada tiga metode sistem distribusi obat dosis unit :
1)    Sistem distribusi obat dosis unit sentralisasi
Dilakukan  oleh  IFRS  ke  semua  daerah  perawatan  penderita  rawat  inap  di  RS  secara  keseluruhan.
Artinya, di rumah sakit tersebut mungkin hanya satu IFRS tanpa adanya cabang IFRS di beberapa daerah
perawatan.
2)    Sistem distribusi obat dosis unit desentralisasi
Dilakukan  oleh  beberapa  cabang  IFRS  di  sebuah  RS.  Pada  dasarnya  sama  dengan  sistem
distribusi  obat  persediaan  lengkap  di  ruang,  hanya  saja  dikelola  seluruhnya  oleh  apoteker  yang  sama
dengan  pengelola  dan  pengendalian  oleh  IFRS  sentral.  Meskipun  tiap  rumah  sakit  memiliki cara  yang
berbeda-beda dalam penerapannya, berikut merupakan contoh prosedur yang dapat dilakukan :
-     Pasien setelah didiagnosa semua datanya dicatat dalam kartu profil pasien
-     Resep dikirim ke farmasis
-     Resep dicatat di kartu profil pasien
-     Farmasis  memeriksa  resep  untuk  kemungkinan  terjadinya      alergi,  interaksi  obat  dan
kerasionalan terapi
-     Jadwal pemberian obat dikoordinasikan dengan ruang perawat
-     Farmasis  mengambil obat  sesuai  resep,  menempatkan  obat  dalam  kereta  obat  sesuai jadwal
pemberian obat
-     Kereta obat diisi dengan dengan obat sesuai jadwal pengiriman ke pasien
-     Farmasis memeriksa kereta obat sebelum diantarkan
-     Perawat memberikan obat ke pasien dan mencatat medication recordnya
-     Kereta obat diperiksa ulang sebelum dikembalikan ke IFRS
-     Selama  proses  berlangsung,  farmasis  dapat  berkonsultasi ke  dokter  dan  perawat  untuk
mencegah terjadinya penghentian pengobatan
Dasar untuk mengadakan pelayanan IFRS desentralisasi adalah :
a)   Kebutuhan penderita
Sistem distribusi obat sentralisasi untuk penderita rawat inap  yang didispensing dari IFRS sentral seringkali
mengakibatkan  meningkatnya  kesalahan  obat,  keterlambatan  penerimaan  dosis  mula,  memperpanjang
tinggal penderita di rumah sakit serta meningkatnya biaya yang dikeluarkan penderita. Sistem distribusi obat
dan lingkup praktek klinik apoteker perlu disesuaikan dengan kemajuan dalam terapi obat.
b)  Kebutuhan perawat
Perawat memainkan suatu peranan penting dalam sistem distribusi obat di rumah sakit. Pelayanan IFRS
sentralisasi seringkali menimbulkan banyaknya  pertanyaan yang berkaitan  dengan obat tak terjawab  oleh
perawat yang sibuk. Pelayanan IFRS desentralisasi dapat segera melakukan kegiatan yang berkaitan dengan
obat  dan dukungan informasi obat kepada  perawat jika diperlukan.  Sistem distribusi obat untuk penderita
rawat inap menggunakan IFRS cabang (satelit) dapat meningkatkan efisiensi perawat dibandingkan dengan
sistem distribusi obat sentralisasi.
c)   Kebutuhan dokter
Dokter  mendiagnosis  masalah  medik  dan  menulis  suatu  rencana  terapi.  Penulisan  obat  seringkali
merupakan  suatu  aspek  kritis  dari  perawatan  pasien  rawat  inap.  Komplikasi  obat  yang  telah  diidentifikasi
sebelumnya  menggambarkan  kebutuhan  dokter  akan  informasi  umum  obat  dan  informasi obat  klinik
tertentu.  Pengelolaan  terapi  obat  penderita  oleh  apoteker  dapat  mengurangi reaksi obat  yang  merugikan
dan  mempercepat  pembebasan  penderita  dari rumah  sakit.  Apoteker  yang  praktek  di daerah  perawatan
penderita dapat memberikan pengetahuan dan pengalaman klinik obat untuk membantu dokter mengelola
terapi obat penderita mereka.
d)  Kebutuhan apoteker
Dalam  lingkungan  desentralisasi,  apoteker  dapat  menghubungkan  secara  langsung  kebutuhan  terapi
obat  penderita  sebagai  hasil dari kemudahan  pencapaian  penderita,  perawat,  dokter  dan  rekam  medik.
Apoteker  dapat  mengembangkan  keahlian  dalam  daerah  perawatan  tertentu,  seperti  pediatrik,  obgyn,
penyakit dalam dan bedah apabila menggeluti bidang yang sama di rumah sakit selama periode waktu yang
terus menerus.
Pengalaman apoteker dalam terapi penderita rawat inap akan meningkat dan selama waktu  itu dapat
menjadi  seorang  ahli dalam  pengertian  variabel penderita  yang  signifikan  untuk  terapi  obat  resiko  tinggi.
Hubungan dengan staf medik dapat dikembangkan, sehingga masukan dari apoteker pada resep terapi obat
dapat dibuat sebelum resep ditulis, daripada menanggapi masalah setelah resep selesai ditulis.
Uraian karakteristik dan manfaat dari IFRS desentralisasi yaitu :
a)  Kunjungan ke ruang perawatan penderita
Apoteker  menyertai tim  dokter  dalam  kunjungan  ke  ruang  penderita.  Partisipasi apoteker  dalam
kunjungan ini adalah pemberian informasi obat atas permintaan dokter atau atas prakarsa apoteker sendiri.
b)  Wawancara penderita 
Informasi sejarah  pengobatan  penderita  diperoleh  secara  lisan  oleh  apoteker  untuk  melengkapi
rekaman  IFRS.  Informasi dapat  termasuk  obat  resep  dan  obat  bebas  yang  digunakan,  alergi obat  dan
pengetahuan  tentang  kerja  obat.  Masalah  tentang  terapi obat  penderita  terdahulu  diidentifikasi  demikian
juga  obat  yang  bermanfaat  atau  tidak  bermanfaat.  Obat-obat  yang  tidak  bermanfaat  dan  penyebab  alergi
tersebut dapat dihindari selama hospitalisasi.
c)   Pemantauan terapi obat penderita
Kartu pengobatan penderita dikaji untuk memastikan bahwa penderita menerima terapi obat yang
aman dan efektif. Obat yang dikonsumsi, uji laboratorium yang  berkaitan, diagnosis penderita dan kondisi
medik adalah bagian penting dari proses pemantauan. Masalah terapi obat yang mungkin berubah dan yang
diidentifikasi  dikomunikasikan  dengan  dokter,  sehingga  akan  dihasilkan  terapi  obat  yang  lebih  aman  dan
lebih efektif.
d)  Pertanyaan dokter
Pertanyaan  dari dokter  tentang  terapi  obat  penderita  dan  pertanyaan  informasi  obat  umum  dijawab
oleh apoteker. Terapi obat yang lebih aman dan lebih efektif akan dihasilkan jika pertanyaan dijawab secara
akurat dan diterapkan dalam terapi penderita.
e)   Pertanyaan perawat
Pertanyaan perawat tentang terapi obat penderita, informasi obat umum dan resep obat dijawab oleh
apoteker. Pemberian obat oleh perawat lebih akurat dan aman dengan pengetahuan obat yang lebih luas.
f)   Informasi obat
Dokter sering mengajukan  pertanyaan tentang informasi obat  yang  berkaitan dengan  masalah  terapi
obat penderita yang memerlukan penelitian dari pustaka informasi yang tersedia untuk melayani pertanyaan
tersebut. Jawaban apoteker harus menghasilkan terapi obat yang lebih aman dan efektif. 
g)  Pelayanan terapi obat yang diatur oleh apoteker
Apoteker mengembangkan dan melaksanakan pelayanan terapi obat tertentu atas permintaan dokter.
Seperti  mengatur  antikoagulasi,  penjadwalan  pemberian  obat  bagi  penderita  dengan  status  ginjal
membahayakan,  obat-obat  yang  mempengaruhi darah  dan  hati,  pengaturan  dosis  aminoglikosid,
pengendalian  kesakitan,  dukungan  nutrisi dan  terapi aminofilin.  Pelayanan  demikian  harus  menghasilkan
terapi obat yang lebih aman dan lebih spesifik bagi penderita.
h)  Farmakokinetik klinik
Penerapan pelayanan farmakokinetik klinik dapat berhasil bila ditunjang oleh keberadaan laboratorium
farmakokinetik yang dikendalikan  oleh  IFRS.  Aspek terpenting dari pelayanan ini antara lain  menetapkan
jadwal waktu untuk pengambilan konsentrasi zat aktif yang tepat guna menjamin agar hasil pengujian dapat
digunakan. Berdasarkan konsentrasi zat aktif  dalam  serum, apoteker  dapat  memodifikasi dosis  dan jadwal
waktu pemberian untuk mencegah toksisitas dan menjamin kemanjuran terapi.
i)   Evaluasi penggunaan obat
Program  evaluasi  penggunaan  obat  yaitu  suatu  proses  penjaminan  mutu  yang  disahkan  rumah
sakit, dilakukan terus menerus, terstruktur, ditujukan guna memastikan bahwa obat digunakan secara tepat,
aman  dan  efektif.  Dalam  rumah  sakit,  apoteker  harus  menerapkan  kepemimpinannya  dan  bekerja  sama
dengan staf medik, perawat dan pimpinan jika diperlukan dalam merencanakan dan melaksanakan evaluasi
penggunaan obat. Studi kasus obat tertentu dilakukan dan ketidaktepatan penulisan resep oleh dokter harus
diperbaiki melalui program pendidikan. 
Keuntungan dari penerapan IFRS desentralisasi bagi berbagai pihak yang terlibat yaitu :
-    Obat dapat segera tersedia untuk dikonsumsi pasien
-    Pengendalian obat dan akuntabilitas semakin baik
-    Apoteker dapat berkomunikasi langsung dengan dokter dan perawat
-    Sistem distribusi obat berorientasi pasien sangat berpeluang untuk diterapkan 
-    Apoteker dapat mengkaji kartu pengobatan pasien dan dapat berbicara dengan pasien secara efisien
-    Informasi obat dari apoteker segera tersedia bagi dokter dan perawat
-    Waktu  kerja  perawat  dalam  distribusi  dan  penyiapan  obat  berkurang  karena  tugas  itu  dilakukan
oleh personel IFRS desentralisasi
-    Spesialisasi terapi obat bagi apoteker yang terspesialisasi dapat dikembangkan dan diberikan secara
efisien
-    Apoteker  lebih  mudah  melakukan  penelitian  klinik  obat  dan  studi asesmen  mutu  terapi obat
penderita.
Keterbatasan sistem distribusi obat desentralisasi antara lain :
-    Semua  apoteker  klinik  harus  cakap  sebagai  penyelia  untuk  bekerja  secara  efektif  dengan  asisten
apoteker dan teknisi lainnya
-    Apoteker  biasanya  bertanggung  jawab  untuk  pelayanan  distribusi dan  pelayanan  klinik.  Waktu
yang  mereka  gunakan  dalam  kegiatan  yang  bukan  distribusi obat  tergantung  pada  ketersediaan
asisten apoteker dan teknisi bermutu untuk secara efektif mengorganisasikan waktu
-    Pengendalian inventarisasi obat dalam IFRS keseluruhan lebih rumit karena lokasi IFRS cabang yang
banyak untuk obat yang sama, terutama untuk obat yang jarang ditulis
-    Komunikasi langsung dalam IFRS keseluruhan lebih sulit karena staf  berpraktek dalam lokasi fisik
yang banyak
-    Lebih banyak alat yang diperlukan, misalnya pustaka informasi obat, lemari pendingin, rak obat dan
alat untuk meracik
-    Jumlah  pasien  yang  banyak  menyebabkan  beban  kerja  distribusi obat  dapat  melebihi  kapasitas
ruangan dan personel dalam unit IFRS desentralisasi yang kecil.
3) Sistem distribusi obat dosis unit kombinasi sentralisasi dan desentralisasi
Biasanya hanya untuk dosis mula dan dosis dalam keadaan darurat dilayani cabang IFRS. Dosis
selanjutnya dilayani IFRS sentral. Semua pekerjaan tersentralisasi, seperti pengemasan dan pencampuran
sediaan intravena juga dimulai dari IFRS sentral.
Keuntungan :
-    Penderita menerima pelayanan IFRS 24 jam sehari dan penderita membayar obat yang dikonsumsi
saja
-    Semua dosis yang diperlukan pada unit perawat telah disiapkan IFRS
-    Mengurangi kesalahan  obat.  Adanya  sistem  pemeriksaan  ganda  dengan  menginterpretasi
resep/order  dokter  dan  apoteker  membuat  P-3  kemudian  perawat  memeriksa  obat  yang
disiapkan IFRS
-    Peniadaan duplikasi resep obat yang berlebihan
-    Pengurangan kerugian biaya obat yang tidak terbayarkan oleh pasien
-    Penyiapan sediaan intravena dan rekonstistusi obat oleh IFRS
-    Meningkatkan penggunaan personel profesional dan nonprofesional yang lebih efisien
-    Mengurangi kehilangan pendapatan
-    Menghemat ruangan di unit perawatan
-    Meniadakan pencurian dan pemborosan obat
-    Memperluas cakupan dan pengendalian IFRS di RS secara keseluruhan sejak dokter menulis resep
sampai penderita menerima dosis unit
-    Kemasan dosis unit secara sendiri-sendiri diberi etiket dengan nama obat, kekuatan, nomor kendali
dan  kemasan  tetap  utuh sampai obat  siap dikonsumsi pasien, juga membantu dalam penelusuran
kembali kemasan apabila terjadi penarikan obat
-    Sistem komunikasi pengorderan dan pengantaran obat bertambah baik
-    Apoteker dapat datang ke unit perawat ruang penderita untuk melakukan konsultasi obat
Pengurangan biaya total kegiatan yang berkaitan dengan obat
-    Peningkatan pengendalian obat dan pemantauan penggunaan obat menyeluruh
-    Pengendalian yang lebih besar oleh apoteker atas pola beban kerja IFRS dan penjadwalan staf 
-    Penyesuaian yang lebih besar untuk prosedur komputerisasi dan otomatisasi 
C.   Metode Distribusi Obat Berdasarkan Ada/Tidaknya Satelit Farmasi
1.   Sistem Pelayanan Terpusat ( sentralisasi )
     Sentralisasi adalah sistem pendistribusian perbekalan farmasi yang dipusatkan pada satu tempat yaitu instalasi
farmasi. Pada sentralisasi seluruh kebutuhan perbekalan farmasi setiap unit pemakai baik untuk kebutuhan
individu maupun kebutuhan barang dasar ruangan disuplay langsung dari pusat pelayanan farmasi tersebut.
    Permasalahan yang tejadi pada penerapan metoda ini disuatu rumah sakit adalah :
a)  Komunikasi yang terjadi  antara farmasi dengan dokter, perawat dan pasien kecil
b)  Farmasis  kurang dapat melihat data riwayat pasien (patient record) dengan cepat.


2.   Sistem Pelayanan Terbagi
Desentralisasi  adalah  sistem  pendistribusian  perbekalan  farmasi yang  mempunyai cabang  didekat
unit  perawatan/pelayanan.  Cabang  ini dikenal dengan  istilah  depo  farmasi/satelit.  Pada  desentralisasi,
penyimpanan  dan  pendistribusian  perbekalan  farmasi ruangan  tidak  lagi dilayani oleh  pusat  pelayanan
farmasi.  Instalasi  farmasi  dalam  hal  ini bertanggung  jawab  terhadap  keamanan  dan  efektivitas  perbekalan
farmasi yang ada di depo farmasi.
     Tanggung jawab farmasis dalam kaitan dengan distribusi obat disatelit farmasi :
a)  Dispensing  dosis  awal  pada  permintaan  baru  dan  larutan  intravena  tanpa  tambahan  (intravena
solution without addities)
b)  Memeriksa permintaan obat dengan melihat medication administration record (MAR)
c)  Menuliskan nama generik dari obat pada MAR
d)  Memecahkan masalah yang berkaitkan dengan distribusi.
Ruang Lingkup Kegiatan Pelayanan Depo famasi
1.   Pengelolaan perbekalan farmasi
Bertujuan untuk menjamin tersedianya perbekalan farmasi dalam jumlah dan jenis yang tepat
dan dalam keadaan siap pakai pada waktu dibutuhkan oleh pasien, dengan biaya seefisien mungkin.
a)  Pengelolaan perbekalan farmasi terbagi atas :

1)


2)

Pengelolaan barang farmasi dasar (BFD)
 Meliputi obat dan alat kesehatan yang diperoleh dari sub instalasi perbekalan farmasi.
Pengelolaan barang farmasi non-dasar (BFND)
 Depo  farmasi melakukan  pengelolaan  BFND  mulai dari  penerimaan  sampai  dengan
pendistribusian. Perencanaan ini tidak dilakukan mulai depo farmasi.

b)  Kegiatan pengelolaan perbekalan farmasi meliputi :
1) Perencanaan 
  Bertujuan  untuk  menyusun  kebutuhan  perbekalan  farmasi tang  tepat  sesuai  kebutuhan,
mencegah  terjadinya  kekurangan  barang  farmasi,  meningkatkan  penggunaan  perbekalan
farmasi yang efektif dan efisien.
2) Pengadaan
  Bertujuan untuk memenuhi kebutuhan perbekalan farmasi yang berkualitas berdasarkan fungsi
perencanaan dan penentuan kebutuhan.
3) Penerimaan
 Bertujuan untuk mendapatkan perbekalan farmasi yang berkualitas sesuai kebutuhan.
4) Penyinpanan
 Bertujuan untuk menjaga agar mutu perbekalan farmasi tetap terjamin, menjamin kemudahan
mencari perbekalan  farmasi dengan  cepat  pada  waktu  dibutuhkan  dan  mencegah  kehilangan
perbekalan farmasi.
5) Pendistribusian
Bertujuan untuk memberikan perbekalan farmasi yang tepat dan aman pada waktu dibutuhkan
oleh pasien.
2. Pelayanan Farmasi Klinik
 Bertujuan  untuk  menjamin  kemanjuran,  keamanan  dan  efisiensi penggunaan  obat  serta  dalam  rangka
meningkatkan penggunaan obat yang rasional.
3. Administrasi
 Kegiatan  administrasi  berupa  stock  opname  perbekalan  farmasi,  pencatatan  perbekalan  farmasi  yang
rusak/tidak  sesuai dengan  aturan  kefarmasian, pelaporan  pelayanan perbekalan  farmasi dan  pelaporan
farmasi klinik.




 

Blogger news

Most Reading