drug delivery sistem
Sabtu, 26 Juni 2010
Sistem Penghantaran
Obat
A. Pengertian Obat
Menurut PerMenKes
917/Menkes/Per/x/1993, obat (jadi) adalah sediaan atau paduan-paduan yang siap
digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki secara fisiologi atau keadaan
patologi dalam rangka penetapan diagnosa, pencegahan, penyembuhan, pemulihan,
peningkatan kesehatan dan kontrasepsi.
Menurut Ansel (1985),
obat adalah zat yang digunakan untuk diagnosis, mengurangi rasa sakit, serta
mengobati atau mencegah penyakit pada manusia atau hewan.
Obat dalam arti luas
ialah setiap zat kimia yang dapat mempengaruhi proses hidup, maka farmakologi
merupakan ilmu yang sangat luas cakupannya. Namun untuk seorang dokter, ilmu
ini dibatasi tujuannya yaitu agar dapat menggunakan obat untuk maksud
pencegahan, diagnosis, dan pengobatan penyakit. Selain itu, agar mengerti bahwa
penggunaan obat dapat mengakibatkan berbagai gejala penyakit. (Bagian
Farmakologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia)
Obat merupakan sediaan
atau paduan bahan-bahan yang siap untuk digunakan untuk mempengaruhi atau
menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan
diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan, kesehatan dan
kontrasepsi (Kebijakan Obat Nasional, Departemen Kesehatan RI, 2005).
Obat merupakan benda
yang dapat digunakan untuk merawat penyakit, membebaskan gejala, atau
memodifikasi proses kimia dalam tubuh.
Obat merupakan senyawa
kimia selain makanan yang bisa mempengaruhi organisme hidup, yang
pemanfaatannya bisa untuk mendiagnosis, menyembuhkan, mencegah suatu penyakit.
Dalam pengertian umum,
obat adalah suatu subtansi yang melalui efek kimianya membawa perubahan dalam
fungsi biologi. Pada umumnya, molekul obat berinteraksi dengan molekul khusus
dalam system biologic yang berperan sebagai pengatur disebut molekul reseptor.
Untuk berinteraksi secara kimia dengan reseptornya, molekul obat harus
mempunyai ukuran, muatan listrik, bentuk dan komposisi atom yang sesuai.
Selanjutnya obat sering diberikan pada suatu tempat yang jauh dari tempat
bekerjanya misalnya, sebuah pil ditelan peroral untuk menyembuhkan sakit
kepala. Karena itu obat yang diperlukan harus mempunyai sifat-sifat khusus agar
dapat dibawa dari tempat pemberian ke tempat bekerja.
B. Peran obat
Obat
merupakan salah satu komponen yang tidak dapat tergantikan dalam pelayanan
kesehatan. Obat berbeda dengan komoditas perdagangan, karena selain merupakan
komoditas perdagangan, obat juga memiliki fungsi sosial. Obat berperan sangat
penting dalam pelayanan kesehatan karena penanganan dan pencegahan berbagai
penyakit tidak dapat dilepaskan dari tindakan terapi dengan obat atau
farmakoterapi. Seperti yang telah dituliskan pada pengertian obat diatas, maka
peran obat secara umum adalah sebagai berikut:
1) Penetapan diagnosa
2) Untuk pencegahan
penyakit
3) Menyembuhkan
penyakit
4) Memulihkan
(rehabilitasi) kesehatan
5) Mengubah fungsi
normal tubuh untuk tujuan tertentu
6) Peningkatan
kesehatan
7) Mengurangi rasa
sakit
C. Parameter – parameter
farmakologi
Farmakokinetika Farmakokinetika merupakan aspek farmakologi yang mencakup nasib obat dalam
tubuh yaitu absorbsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresinya (ADME).
Obat yang masuk ke dalam
tubuh melalui berbagai cara pemberian umunya mengalami absorpsi, distribusi,
dan pengikatan untuk sampai di tempat kerja dan menimbulkan efek. Kemudian
dengan atau tanpa biotransformasi, obat diekskresi dari dalam tubuh. Seluruh
proses ini disebut dengan proses farmakokinetika dan berjalan serentak seperti
yang terlihat pada gambar 1.1 dibawah ini.
Gambar 1.1. Berbagai
proses farmakokinetika obat
1. Absorpsi dan
Bioavailabilitas
Kedua istilah
tersebut tidak sama artinya. Absorpsi, yang merupakan proses penyerapan obat
dari tempat pemberian, menyangkut kelengkapan dan kecepatan proses tersebut.
Kelengkapan dinyatakan dalam persen dari jumlah obat yang diberikan. Tetapi
secara klinik, yang lebih penting ialah bioavailabilitas. Istilah ini
menyatakan jumlah obat, dalam persen terhadap dosis, yang mencapai sirkulasi sistemik dalam bentuk utuh/aktif.
Ini terjadi karena untuk obat-obat tertentu, tidak semua yang diabsorpsi dari
tempat pemberian akan mencapai sirkulasi sestemik. Sebagaian akan dimetabolisme
oleh enzim di dinding ususpada pemberian oral dan/atau di hati pada lintasan
pertamanya melalui organ-organ tersebut. Metabolisme ini disebut metabolisme
atau eliminasi lintas pertama (first pass metabolism or elimination)
atau eliminasi prasistemik. Obat demikian mempunyai bioavailabilitas oral yang
tidak begitu tinggi meskipun absorpsi oralnya mungkin hampir sempurna. Jadi
istilah bioavailabilitas menggambarkan kecepatan dan kelengkapan absorpsi
sekaligus metabolisme obat sebelum mencapai sirkulasi sistemik. Eliminasi
lintas pertama ini dapat dihindari atau dikurangi dengan cara pemberian
parenteral (misalnya lidokain), sublingual (misalnya nitrogliserin), rektal,
atau memberikannya bersama makanan.
2. Distribusi
Setelah diabsorpsi, obat akan
didistribusi ke seluruh tubuh melalui sirkulasi darah. Selain tergantung dari
aliran darah, distribusi obat juga ditentukan oleh sifat fisikokimianya.
Distribusi obat dibedakan atas 2 fase berdasarkan penyebarannya di dalam tubuh.
Distribusi fase pertama terjadi segera setelah penyerapan, yaitu ke organ yang
perfusinya sangat baik misalnya jantung, hati, ginjal, dan otak. Selanjutnya,
distribusi fase kedua jauh lebih luas yaitu mencakup jaringan yang perfusinya
tidak sebaik organ di atas misalnya otot, visera, kulit, dan jaringan lemak.
Distribusi ini baru mencapai keseimbangan setelah waktu yang lebih lama. Difusi
ke ruang interstisial jaringan terjadi karena celah antarsel endotel kapiler
mampu melewatkan semua molekul obat bebas, kecuali di otak. Obat yang mudah
larut dalam lemak akan melintasi membran sel dan terdistribusi ke dalam otak,
sedangkan obat yang tidak larut dalam lemak akan sulit menembus membran sel
sehingga distribusinya terbatas terurama di cairan ekstrasel. Distribusi juga
dibatasi olehikatan obat pada protein plasma, hanya obat bebas yang
dapat berdifusi dan mencapai keseimbangan. Derajat ikatan obat dengan protein plasma
ditentukan oleh afinitas obat terhadap protein, kadar obat, dan kadar
proteinnya sendiri. Pengikatan obat oleh
protein akan berkurang pada malnutrisi berat karena adanya defisiensi protein.
3. Biotransformasi /
Metabolisme
Biotransformasi atau
metabolisme obat ialah proses perubahan struktur kimia obat yang terjadi dalam
tubuh dan dikatalis oleh enzim. Pada proses ini molekul obat diubah menjadi
lebih polar, artinya lebih mudah larut dalam air dan kurang larut dalam lemak
sehingga lebih mudah diekskresi melalui ginjal. Selain itu, pada umumnya obat
menjadi inaktif, sehingga biotransformasi sangat berperan dalam mengakhiri
kerja obat. Tetapi, ada obat yang metabolitnya sama aktif, lebih aktif, atau
tidak toksik. Ada obat yang merupakan calon obat (prodrug) justru
diaktifkan oleh enzim biotransformasi ini. Metabolit aktif akan mengalami
biotransformasi lebih lanjut dan/atau diekskresi sehingga kerjanya berakhir.
Enzim yang berperan
dalam biotransformasi obat dapat dibedakan berdasarkan letaknya dalam sel,
yakni enzim mikrosom yang terdapat dalam retikulum endoplasma halus (yang pada
isolasi in vitro membentuk mikrosom), dan enzim non-mikrosom. Kedua macam enzim
metabolisme ini terutama terdapat dalam sel hati, tetapi juga terdapat di sel
jaringan lain misalnya ginjal, paru, epitel, saluran cerna, dan plasma.
4. Ekskresi
Obat dikeluarkan dari
tubuh melalui berbagai organ ekskresi dalam bentuk metabolit hasil biotransformasi
atau dalam bentuk asalnya. Obat atau metabolit polar diekskresi lebih cepat
daripada obat larut lemak, kecuali pada ekskresi melalui paru. Ginjal merupakan
organ ekskresi yang terpenting. Ekskresi disini merupakan resultante dari 3 preoses, yakni filtrasi di glomerulus, sekresi aktif di tubuli proksimal,
dan rearbsorpsi pasif di tubuli proksimal dan distal.
Ekskresi obat melalui ginjal menurun pada gangguan fungsi ginjal sehingga
dosis perlu diturunkan atau intercal pemberian diperpanjang. Bersihan kreatinin
dapat dijadikan patokan dalam menyesuaikan dosis atau interval pemberian obat.
Ekskresi obat juga terjadi melalui keringat, liur, air
mata, air susu, dan rambut, tetapi dalam jumlah yang relatif kecil sekali
sehingga tidak berarti dalam pengakhiran efek obat. Liur dapat digunakan
sebagai pengganti darah untuk menentukan kadar obat tertentu. Rambut pun dapat
digunakan untuk menemukan logam toksik, misalnya arsen, pada kedokteran
forensik.
Farmakodinamika Farmakodinamika mempelajari efek obat terhadap
fisiologi dan biokimia berbagai organ tubuh serta mekanisme kerjanya. Tujuan
mempelajari mekanisme kerja obat ialah untuk meneliti efek utama obat,
mengetahui interaksi obat dengan sel, dan mengetahui urutan peristiwa serta
spektrum efek dan respon yang terjadi. Pengetahuan yang baik mengenai hal ini
merupakan dasar terapi rasional dan berguna dalam sintesis obat baru.
1. Mekanisme Kerja Obat
Efek obat umumnya timbul karena interaksi obat dengan
reseptor pada sel suatu organisme. Interaksi obat dengan reseptornya ini
mencetuskan perubahan biokimiawi dan fisiologi yang merupakan respons khas
untuk obat tersebut. Reseptor obat merupakan komponen makromolekul fungsional
yang mencakup 2 konsep penting. Pertama, bahwa obat dapat mengubah kecepatan
kegiatan faal tubuh. Kedua, bahwa obat tidak menimbulkan suatu fungsi baru,
tetapi hanya memodulasi fungsi yang sudah ada. Walaupun tidak berlaku bagi terapi
gen, secara umum konsep ini masih berlaku sampai sekarang. Setiap komponen
makromolekul fungsional dapat berperan sebagai reseptor
obat, tetapi sekelompok reseptor obat tertentu juga berperan sebagai reseptor
yang ligand endogen (hormon, neurotransmitor). Substansi yang efeknya
menyerupai senyawa endogen disebut agonis. Sebaliknya, senyawa yang tidak
mempunyai aktivitas intrinsik tetapi menghambat secara kompetitif efek suatu
agonis di tempat ikatan agonis (agonist binding site) disebut antagonis.
2. Reseptor
Obat
Struktur kimia suatu obat berhubunga dengan afinitasnya terhadap reseptor
dan aktivitas intrinsiknya, sehingga perubahan kecil dalam molekul obat,
misalnya perubahan stereoisomer, dapat menimbulkan perubahan besar dalam sidat
farmakologinya. Pengetahuan mengenai hubungan struktur aktivitas bermanfaat
dalam strategi pengembangan obat baru, sintesis obat yang rasio terapinya lebih
baik, atau sintesis obat yang selektif terhadap jaringan tertentu. Dalam
keadaan tertentu, molekul reseptor berinteraksi secara erat dengan protein
seluler lain membentuk sistem reseptor-efektor sebelum menimbulkan respons.
3. Transmisi
Sinyal Biologis
Penghantaran sinyal biologis ialah proses yang menyebabkan suatu substansi
ekstraseluler (extracellular chemical messenger) menimbulkan suatu
respons seluler fisiologis yang spesifik. Sistem hantaran ini dimulai dengan
pendudukan reseptor yang terdapat di membran sel atau di dalam sitoplasmaoleh
transmitor. Kebanyakan messenger ini bersifat polar. Contoh,
transmitor untuk reseptor yang terdapat di membran sel ialah katekolamin, TRH,
LH. Sedangkan untuk reseptor yang terdapat dalam sitoplasma ialah steroid
(adrenal dan gonadal), tiroksin, vit. D.
4. Interaksi
Obat-Reseptor
Ikatan antara obat dan reseptor misalnya ikatan substrat dengan enzim,
biasanya merupakan ikatan lemah (ikatan ion, hidrogen, hidrofobik, van der
Waals), dan jarang berupa ikatan kovalen.
5. Antagonisme
Farmakodinamika
Secara farmakodinamika dapat dibedakan 2 jenis antagonisme, yaitu
antagonisme fisiologik dan antagonisme pada reseptor. Selain itu, antagonisme
pada reseptor dapat bersifat kompetitif atau nonkompetitif. Antagonisme
merupakan peristiwa pengurangan atau penghapusan efek suatu obat oleh obat lain.
Peristiwa ini termasuk interaksi obat. Obat yang menyebabkan pengurangan efek
disebut antagonis, sedang obat yang efeknya dikurangi atau ditiadakan disebut
agonis. Secara umum obat yang efeknya dipengaruhi oleh obat lain disebut obat
objek, sedangkan obat yang mempengaruhi efek obat lain disebut obat presipitan.
6. Kerja Obat
yang tidak Diperantarai Reseptor
Dalam menimbulkan efek, obat
tertentu tidak berikatan dengan reseptor. Obat-obat ini mungkin mengubah sifat
cairan tubuh, berinteraksi dengan ion atau molekul kecil, atau masuk ke
komponen sel.
7. Efek Obat
Efek obat yaitu perubahan fungsi
struktur (organ)/proses/tingkah laku organisme hidup akibat kerja obat.
Obat
akan bekerja dengan manjur dan aman jika kadarnya berada di atas
konsentrasi minimum efektif (MEC) tetapi di bawah konsentrasi maksimum
yang dapat menimbulkan gejala keracunan (MTC). Makin dekat jarak
antara MEC dan MTC, maka perhitungan farmakokinetika dilakukan dengan
teliti.Pada umumnya obat diberikan dalam bentuk sediaan
seperti tablet, kapsul , suspensi dan lain-lain. Suatu bentuk sediaan obat
terdiri dari bahan obat dan bahan-bahan pembantu yang tersusun dalam
formula dan diikuti dengan petunjuk cara proses pembuatan. Kita mengetahui
bahwa sangat banyak sediaan farmasi dengan obat, dosis dan bentuk sediaan
yang sama, diproduksi oleh industri-industri farmasi dengan nama-nama yang
berbeda.
Dengan
berbagai alasan dari industri-industri, maka umumnya formula sediaan tersebut
berbeda. Pada akhir tahun lima puluhan dan awal tahun enam puluhan bermunculan
laporan, publikasi dan diskusi yang mengemukakan bahwa banyak obat-obat dengan
kandungan, dosis dan bentuk sediaan yang sama dan dikeluarkan oleh industri
farmasi yang berbeda memberikan kemanjuran yang berbeda. Laporan-laporan dan
publikasi-publikasi tersebut menyebabkan munculnya ilmu baru dalam bidang
farmasi yaitu biofarmasi. Riegelman, John Wagner dan Geihard Levy dinamakan
sebagai pelopor biofarmasi. Pada tahun 1961 dalam suatu artikel review di Journal
of Pharmaceutical Sciences dikemukakan definisi dari biofarmasi sebagai berikut
Biofarmasi adalah cabang ilmu farmasi yang mempelajari hubungan antara
sifat-sifat fisiko kimia dari bahan baku obat dan bentuk sediaan dengan efek
terapi sesudah pemberian obat tersebut kepada pasien. Perbedaan sifat fisiko
kimia dari sediaan ditentukan oleh bentuk sediaan, formula dan cara pembuatan,
sedangkan perbedaan sifat fisiko kimia bahan baku obat dapat berasal dari
bentuk bahan baku ( ester , garam, kompleks atau polimorfisme) dan ukuran
partikel.
Selanjutnya
perkembangan ilmu biofarmasi , melihat bentuk sediaan sebagai suatu “drug
delivery system” yang menyangkut pelepasan obat berkhasiat dari sediaannya,
absorpsi dari obat berkhasiat yang sudah dilepaskan, distribusi obat yang sudah
diabsorpsi oleh cairan tubuh, metabolisme obat dalam tubuh serta eliminasi obat
dari tubuh. Sedangkan drug delivery sistem adalah suatu bentuk sediaan yang
melepaskan satu atau lebih bahan berkhasiat secara kontinyu menurut pola yang telah
ditetapkan sebelumnya atau pada organ sasaran yang spesifik. Sedangkan
kecepatan pelepasan obat dipengaruhi oleh bentuk sediaan, formula dan cara
pembuatan sehingga bisa terjadi sebagian obat dilepas disaluran cerna dan
sebagian lagi masih belum dilepas sehingga belum sempat diabsorpsi sudah keluar
dari saluran cerna. Malah sekarang ini pelepasan obat dari sediaan bisa diatur
atau dikontrol sehingga absorpsi bisa terjadi lama di saluran cerna, maka
timbulah sediaan farmasi yang semula dipakai tiga kali sehari menjadi satu kali
sehari. Umumnya obat yang sudah terlarut dalam cairan saluran cerna bisa
diabsorpsi oleh dinding saluran cerna, tetapi dilain pihak obat yang sudah
terlarut itu bisa terurai tergantung dari sifatnya , sehingga sudah berkurang
obat yang diabsorpsi.
Sedangkan sistem
penghantaran obat yang ideal :
1. satu kali pemberian
untuk seluruh periode pengobatan
2. Menghasilkan kadar
obat dalam darah yang konstan selama periode waktu tertentu
3. Efek obat optimal.
4. Menghantarkan obat
langsung kesasaran (drug targeting)
Sebagai contoh
sistem penghantaran obat yaitu sediaan oral ( tablet enziplex ) yang dipakai
digunakan sebagai obat untuk membantu proses pencernaan dan meringankan rasa
mual, kembung, nyeri lambung, dan sebab akibat gangguan pencernaan.
Suatu obat dapat
mencapai tempat kerja yang diinginkan setelah masuk dalam tubuh dengan jalur
yang terbaik. Dalam beberapa hal, obat dapat diberikan langsung pada tempatnya
bekerja., seperti pemberian topikal obat anti-inflamasi pada kulit atau membran
mukosa yang radang. Dalam keadaan lain obat dapat diberikan intravena dan
beredar dalam darah langsung ke saluran darah bagian tubuh tempat efek obat
diharapakan. Lebih umum lagi, obat diberikan dalam kompartemen tubuh, misalnya
usus dan mesti berpindah ketempatnya bekerja yaitu kompartemen yang lain
misalnya otak. Dalam hal ini obat harus diabsorbsi kedalam darah dari tempat
pemberiannya dan didistribusikan ketempatnya bakerja, melalui permeasi berbagai
penghambat yang memisahkan kompartemen ini. Obat yang diberikan peroral seperti
enziplex untuk mendapatkan efek disusunan saraf pusat perlu melewati sawar
seperti didinding usus, dinding kapiler yang mengaliri usus sawar otak-darah
yaitu dinding kapiler yang mengaliri otak. Akhirnya sesudah memberikan efek
obat harus dikeluarkan dengan kecepatan tertentu melalui inaktifasi metabolik,
melalui eksresi dari tubuh atau gabungan kedua proses ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Anief, Moh. Drs, Apt. Ilmu
Farmasi. 1984. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Ansel, C. Howard. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. UI
Press
Sanjoyo. Raden. Obat ( Biomedik Farmakologi ). Universitas Gadjah Mada.
Diambil tanggal 1 Februari jam 20.00
2.3 SISTEM DISTRIBUSI
OBAT
Sistem distribusi obat di rumah sakit digolongkan berdasarkan ada tidaknya satelit/depo farmasi dan pemberian obat ke pasien rawat inap.
Berdasarkan ada atau tidaknya satelit farmasi, sistem distribusi obat dibagi menjadi dua sistem, yaitu:
1. Sistem pelayanan terpusat (sentralisasi)
2. Sistem pelayanan terbagi (desentralisasi)
Berdasarkan distribusi obat bagi pasien rawat inap, digunakan empat sistem, yaitu:
1. Sistem distribusi obat resep individual atau permintaan tetap
2. Sistem distribusi obat persediaan lengkap di ruang
3. Sistem distribusi obat kombinasi resep individual dan persediaan lengkap di ruang
4. Sistem distribusi obat dosis unit.
2.3.1 Metode Distribusi Obat Berdasarkan Ada atau Tidaknya Satelit Farmasi
1. Sistem Pelayanan Terpusat (Sentralisasi)
Sentralisasi adalah sistem pendistribusian perbekalan farmasi yang dipusatkan pada satu tempat yaitu instalasi farmasi. Pada sentralisasi, seluruh kebutuhan perbekalan farmasi setiap unit pemakai baik untuk kebutuhan individu maupun kebutuhan barang dasar ruangan disuplai langsung dari pusat pelayanan farmasi tersebut. Resep orisinil oleh perawat dikirim ke IFRS, kemudian resep itu diproses sesuai dengan kaidah ”cara dispensing yang baik dan obat disiapkan untuk didistribusikan kepada penderita tertentu.”
Keuntungan sistem ini adalah:
a. Semua resep dikaji langsung oleh apoteker, yang juga dapat memberi informasi kepada perawat berkaitan dengan obat pasien,
b. Memberi kesempatan interaksi profesional antara apoteker-dokter-perawat-pasien,
c. Memungkinkan pengendalian yang lebih dekat atas persediaan,
d. Mempermudah penagihan biaya pasien.
Permasalahan yang terjadi pada penerapan tunggal metode ini di suatu rumah sakit yaitu sebagai berikut:
a) Terjadinya delay time dalam proses penyiapan obat permintaan dan distribusi obat ke pasien yang cukup tinggi,
b) Jumlah kebutuhan personel di Instalasi Farmasi Rumah Sakit meningkat,
c) Farmasis kurang dapat melihat data riwayat pasien (patient records) dengan cepat,
d) Terjadinya kesalahan obat karena kurangnya pemeriksaan pada waktu penyiapan komunikasi.
Sistem ini kurang sesuai untuk rumah sakit yang besar, misalnya kelas A dan B karena memiliki daerah pasien yang menyebar sehingga jarak antara Instalasi Farmasi Rumah Sakit dengan perawatan pasien sangat jauh.
Sistem distribusi obat di rumah sakit digolongkan berdasarkan ada tidaknya satelit/depo farmasi dan pemberian obat ke pasien rawat inap.
Berdasarkan ada atau tidaknya satelit farmasi, sistem distribusi obat dibagi menjadi dua sistem, yaitu:
1. Sistem pelayanan terpusat (sentralisasi)
2. Sistem pelayanan terbagi (desentralisasi)
Berdasarkan distribusi obat bagi pasien rawat inap, digunakan empat sistem, yaitu:
1. Sistem distribusi obat resep individual atau permintaan tetap
2. Sistem distribusi obat persediaan lengkap di ruang
3. Sistem distribusi obat kombinasi resep individual dan persediaan lengkap di ruang
4. Sistem distribusi obat dosis unit.
2.3.1 Metode Distribusi Obat Berdasarkan Ada atau Tidaknya Satelit Farmasi
1. Sistem Pelayanan Terpusat (Sentralisasi)
Sentralisasi adalah sistem pendistribusian perbekalan farmasi yang dipusatkan pada satu tempat yaitu instalasi farmasi. Pada sentralisasi, seluruh kebutuhan perbekalan farmasi setiap unit pemakai baik untuk kebutuhan individu maupun kebutuhan barang dasar ruangan disuplai langsung dari pusat pelayanan farmasi tersebut. Resep orisinil oleh perawat dikirim ke IFRS, kemudian resep itu diproses sesuai dengan kaidah ”cara dispensing yang baik dan obat disiapkan untuk didistribusikan kepada penderita tertentu.”
Keuntungan sistem ini adalah:
a. Semua resep dikaji langsung oleh apoteker, yang juga dapat memberi informasi kepada perawat berkaitan dengan obat pasien,
b. Memberi kesempatan interaksi profesional antara apoteker-dokter-perawat-pasien,
c. Memungkinkan pengendalian yang lebih dekat atas persediaan,
d. Mempermudah penagihan biaya pasien.
Permasalahan yang terjadi pada penerapan tunggal metode ini di suatu rumah sakit yaitu sebagai berikut:
a) Terjadinya delay time dalam proses penyiapan obat permintaan dan distribusi obat ke pasien yang cukup tinggi,
b) Jumlah kebutuhan personel di Instalasi Farmasi Rumah Sakit meningkat,
c) Farmasis kurang dapat melihat data riwayat pasien (patient records) dengan cepat,
d) Terjadinya kesalahan obat karena kurangnya pemeriksaan pada waktu penyiapan komunikasi.
Sistem ini kurang sesuai untuk rumah sakit yang besar, misalnya kelas A dan B karena memiliki daerah pasien yang menyebar sehingga jarak antara Instalasi Farmasi Rumah Sakit dengan perawatan pasien sangat jauh.
drug delivery sistem
PENDAHULUAN
Peluang penemuan dan
pengembangan baru dalam bidang farmasi adalah meliputi: penemuan obat baru (New
Chemical Entity, NCE), efek farmakologi baru dari obat yang sudah habis masa
patennya, dan komposisi baru dari sistem penghantaran (New Drug Delivery System,
NDDS).
Pada saat ini dikembangkan pula cara
pemasukan obat baru dengan tujuan sistemik ke dalam tubuh melalui pintu masuk
(entry points) baru yang selama ini belum dikembangkan, seperti melalui kulit
(transdermal), selaput mukosa (inytranasal, intraokular, intravaginal, sistem
oral sasaran kolon, dan sebagainya). Semuanya dirangkum dalam kelompok sistem
penghantaran obat baru.
Istilah “Sistem Penghantaran Obat” (SPO)
atau Drug Delivery System pada dasarnya adalah istilah yang menggambarkan bagaimana
suatu obat dapat sampai ke tempat target aksinya. Istilah ini juga sering
dipertukarkan dengan drug product (produk obat) dan dosage form. Hanya saja,
istilah SPO memiliki konsep yang lebih comprehensive yang meliputi: formulasi
obat, interaksi yang mungkin terjadi antara obat yang satu dengan obat yang
lainnya, matriks, container, dan pasien
Drug delivery adalah metode atau proses
senyawa untuk mencapai efek terapeutik pada manusia atau hewan. Obat dilindungi
paten teknologi yang mengubah profil pelepasan obat, penyerapan, distribusi dan
eliminasi untuk kepentingan produk memperbaiki kemanjuran dan keselamatan,
serta kenyamanan dan kepatuhan pasien. Sebagian besar metode-metode umum
termasuk pilihan pengiriman non-invasif peroral (melalui mulut), topikal
(kulit), transmucosal (hidung, buccal / sublingual, vagina , okular dan dubur)
dan inhalasi rute
Banyak obat-obatan seperti peptida
dan protein, antibodi, vaksin dan gen berdasarkan obat-obatan, pada umumnya
tidak dapat disampaikan dengan menggunakan rute ini karena mereka mungkin dapat
mengalami degradasi enzimatik atau dapat tidak dapat diserap ke dalam sirkulasi
sistemik efisien karena ukuran molekul dan masalah biaya untuk menjadi terapi
efektif. Untuk alasan ini banyak protein dan peptida obat-obatan harus
disampaikan oleh injeksi. Sebagai contoh, banyak imunisasi didasarkan pada
protein pengiriman obat-obatan dan sering dilakukan melalui suntikan. Saat ini
usaha di bidang pemberian obat mencakup pengembangan pengiriman ditargetkan di
mana obat hanya aktif di area target tubuh (misalnya, dalam kanker jaringan)
dan pelepasan berkelanjutan formulasi obat yang dilepaskan selama periode waktu
dengan cara yang terkendali dari formulasi.
ISI
Masalah yang sering dihadapi dalam
merancang dan mengembangkan sediaan adalah masalah kelarutan obat. Teori
tentang kelarutan merupakan konversi dari suatu keadaan menuju keadaan lain,
dan melibatkan fenomena kesetimbangan.Fenomena ini digunakan untuk memperkirakan
kelarutan dan menyederhanakann pengembangan formulasi, sesuatu yang tidak selalu mudah (apalagi
untuk sediaan parenteral).
. Cara pendekatan pertama yang lazim
digunakan untuk meningkatkan kelarutan air dalam suatu obat adalah membentuk
garam larut air. Jika pembentukan garam tidak mungkin (misalnya karena garam
yang terbentuk sangat tidak stabil,atau tidak menghasilkan molekul yang cukup
larut misalnya indometasin natrium injeksi yang hanya stabil selama 14 hari
saja dalam bentuk larutan., maka perlu digunakan suatu seri pendekatan
formulasi. Pengaturan pH mungkin digunakan untuk meningkatkan kelarutan air
dari obat terionisasi. Pendekatan lainnya adalah dengan menggunakan kosolven
yagn tercampur air, atau surfaktan (solubisasi miselar) dan agen pengomplek
(misal turunan santin dengan asam salisilat dan benzoat: komplek inklusi dengan
siklodekstrin) dan sebagainya.
Saat ini pemanfaatan emulsi dan sistem
penghantaran obat koloidal lain (misal liposom, niosom dan sebagainya) untuk
pemberian obat secara iv telah digunakan secara luas dan cukup berhasil. Sistem
penghantaran obat ini mengubah obat menjadi obat terjerat atau asosiasi obat
yang menunjukkan sifat yang berbeda dari obat bebas (senyawa induk) Sistem ini
membuka pula peluang untuk memperlama keberadaan obat dalam aliran darah atau
memodifikasi disposisi obat dalam darah.
Jika calon obat cukup larut dalam lipid,
maka bentuk emulsi dapat digunakan sebagai alternatif penghantaran obat. Emulsi
mengandung minyak nabati yang kaya akan trigliserida dan lesitin sebagai
surfaktan, serta dapat pula mengandung surfaktan nonionik. Obat tidak larut
dapat diinkorpoorasikan ke dalam emulsi lemak komersial(hal ini akdang-kadang
tidak berhasil baikkarena oabt dapat memepengaruhi stabilitas emulsi
komersial). Atau suatu emulsi dapat dibentuk dari minyak (yang mengandung obat
disolubilisasi di dalamnya), seperti pembentukan sediaan emulsi parenteral.
Perkembangan sistem
penghantaran obat belakangan ini telah sampai juga pada penggunaan teknologi
nanopartikel, yang diharapkan dapat memperbaiki sifat penghantaran obat
sebelumnya (nasal, transdermal, depot, PEG-drug, dan liposom).
Beberapa keunggulan nanoteknologi ketika
diaplikasikan kepada sistem penghantaran obat antara lain, dapat meningkatkan
kepatuhan pasien mengkonsumsi obat karena bentuk sediannya dapat diterima
dengan baik oleh pasien, meningkatkan efikasi obat, mengurangi efek samping,
dan tentu saja berimbas pada pencapian kualitas hidup pasien yang lebih baik.
Nanoteknologi sendiri dipahami sebagai
pengembangan senyawa dalam ukuran 1 – 1000 nm. Definisi lain oleh The Academy
of Pharmaceutical Sciences of Great Britain, bahwa nanopharmaceutical merupakan
sistem yang kompleks terdiri sekurangnya 2 komponen, salah satunya adalah zat
aktif obat, dan senyawa yang dihasilkan berukuran nano antara 1 – 1000 nm.
Berdasarkan sifat fisik, nanopartikel dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu solid nanoparticles(polymeric
np, solid lipid np (SLN), nanosuspension, dll), semisolid nanoparticles (liposom, neosome), dan liquid nanoparticles (microemulsion, nanoemulsion,
dll).
Menyikapi hal ini,Prof. Garnpimol G.
Ritthidej, Ph.D menyampaikan hasil studi dan penelitian beliau tentang
nanopartikel, meliputi polymeric
nanoparticles, solid lipid nanoparticles (SLN), dan microemulsion.Saat
ini beliau telah selesai mengembangkan chitosan sebagai adjuvant Japanese
ecephalitis vaccine per-oral, sehingga sangat cocok mengatasi problem pemberian
vaksin konvensional (menggunakan jarum suntik). Lebih jauh beliu menjelaskan
bagaimana cara memilih surfaktan yang aman bagi pasien, karena salah satu
faktor yang paling mempengaruhi formulasi nanopartikel adalah ketepatan
pemilihan surfaktan. Beliau juga menyampaikan beberapa metode preparasi SLN,
antara lain dengan High
Presure Homogenization (HPH), High Shear Homogenization with
ultrasound, pengenceran mikroemulsi, dan emulsion
with solvent evaporation. Beliau bahkan telah mengembangkan formula obat
diltiazem HCl, teofilin, ibuprofen, dan amphotericin B dalam bentuk SLN, dengan
efikasi dan efek samping yang lebih baik dibandingkan produk yang ada dipasaran
saat ini.
.Hal – hal penting yang menjadi tujuan
dalam pengembangan system penghantaran obat adalah terwujudnya suatu
sediaan obat yang ideal atau setidaknya mendekati ideal yaitu sediaan obat
yang:
1. Cukup diberikan satu kali saja selama masa terapi
1. Cukup diberikan satu kali saja selama masa terapi
2. Langsung dapat didistribusikan ke tempat aksinya dan
memiliki adverse effect yang seminimal mungkin
Untuk mencapai tujuan tersebut, obat
didesain sedemikian rupa dengan mempertimbangkan banyak faktor seperti
farmakokinetik, farmakodinamik, kenyamanan pasien, dsb. Bredasarkan
pertimbangan – pertimbangan tersebut, barulah diputuskan apakah suatu obat
cocok diformulasikan sebagai sediaan obat konvensional atau harus
diformulasikan menjadi sediaan obat termodifikasi (modified – release drug
product).
Sebenarnya, perbedaan utama antara Conventional Drug Product
dengan Modified–Release (MR) Drug Product terletak pada kapan sediaan obat
harus melepaskan obatnya. Conventional Drug Product akan melepaskan obatnya
segera setelah obat dikonumsi (oleh karenanya sering disebut sebagai sediaan
Immediate Release, IR), baik itu dikonsumsi secara per oral maupun melalui
jalur administrasi yang lain, sedangkan MR sebaliknya. Dia didesain untuk tidak
segera melepaskan obatnya setelah dikonsumsi. Penundaan ini bisa berdasarkan
waktu (aspek temporal) atau tempat absorbsi (aspek spasial). Baik MR temporal
maupun MR spasial keduanya bertujuan untuk mendapatkan profil kadar obat dalam
plasma yang optimal.
MR dapat diberikan melalui jalur pemberian mana pun baik melalui
oral, maupun paranteral seperti implant (susuk KB), liposom, beberapa sediaan
transdermal, dll. Namun, MR oral lebih banyak berkembang dan lebih sering
digunakan. Oleh karenanya, dalam tulisan singkat ini akan lebih banyak
bercerita tentang MR oral. Beberapa model MR oral yang beredar di pasaran
antara lain:
1. Delayed Release (DR). Misalnya menggunakan teknik enteric coating
1. Delayed Release (DR). Misalnya menggunakan teknik enteric coating
2. Site
specific release. Dilepaskan ketika sediaan obat mencapai lokasi tertentu dari
GI tract. Misalanya desain sediaan obat yang ditujukan untuk dilepaskan di
kolon, dsb
3.
Extended Release (ER). Istilah ini juga sering dipertukarkan dengan Prolonged
Release, Sustained Release (SR), dan Controlled Release (CR).
4.
Programmed Release.
Beberapa
keuntungan yang dapat diperoleh dari MR antara lain:
1. Mengurangi frekuensi pemakaian obat.
1. Mengurangi frekuensi pemakaian obat.
2.
Meningkatkan patient convenience dan patient compliance yang pada gilirannya
diharapkan dapat memperbesar peluang tercapainya target terapi.
3.
Menghindari pemakaian obat pada saat–saat yang “merepotkan” atau saat–saat yang
mungkin dilupakan oleh pasien, misalnya pada malam hari
4.
Mengurangi fluktuasi kadar obat dalam darah
5.
Mengkondisikan agar efek obat lebih uniform
6.
Mengurangi risiko iritasi saluran cerna
7.
Mengurangi efek samping
Kekurangan
sediaan MR:
1.
Biaya. Formulasi MR merupakan formulasi yang mempergunakan teknologi yang
relatif lebih canggih daripada teknologi yang biasa digunakan untuk IR sehingga
wajar jika biaya yang diperlukan pun lebih mahal.
2.
IVIVC seringkali jelek. Sulit sekali mendesain sistem in vitro yang dapat
menggambarkan perubahan keadaan in vivo dari satu segmen GIT ke segmen GIT yang
lain sehingga wajar jika IVIVC untuk MR seringkali tidak sebaik yang
diharapkan.
3. Dose
dumping. Ini adalah masalah utama dalam formulasi MR. Sebagai ilustrasi (semoga
dapat menggambarkan): Obat yang diformulasikan dalam MR selalu diberikan dalam
dosis yang lebih besar daripada dosis satu kali minum. Mungkin dosis yang
seharusnya diberikan beberapa kali dalam sehari hanya diberikan satu kali
(tentu dalam jumlah total yang sama) kemudian diharapkan dapat terlepas sedikit
demi sedikit sehingga efeknya sama seperti jika mengkonsumsi obat tersebut
secara bertahap (beberapa kali sehari) secara patuh.
4.
Mengurangi fleksibilitas pemberian obat
5.
Meningkatkan kemungkinan first pass effect
6.
Umumnya bioavailabilitas MR kurang baik
7.
Efektivitas pelepasan obat dipengaruhi dan dibatasi oleh GI residence time.
Idealnya, suatu sediaan MR akan melepaskan obatnya mengikuti
orde 0 (nol) atau dalam debit yang sama dari waktu ke waktu. Lebih jauh lagi
diharapkan sediaan MR dapat melepaskan obat dalam jumlah yang sama seperti
jumlah obat yang telah tereliminasi (baik melalui distribusi, metabolisme,
maupun ekskresi) sehingga jumlah obat yang ada di dalam darah senantiasa
konstan. Dengan demikian, harapannya efek yang diberikan akan selalu sama dari
waktu ke waktu. Namun seringkali dalam melepaskan obatnya MR tidak mengikuti
orde 0 karena ada banyak peristiwa yang tak terprediksikan yang terjadi dalam
GIT (seperti yang telah diungkapkan di atas bahwa sulit sekali mendesain
keadaan in vitro yang menggambarkan berbagai perubahan yang terjadi dari segmen
GIT satu yang segmen yang lain sehingga nasib MR dalam GIT relatif sulit
diprediksi).
Selain itu, formulasi MR juga harus mempertimbangkan aspek
fisikokimia obat yang akan diformulasikan. Misalnya kelarutan, dll. Perlu juga
diperhatikan terkait t ½ eliminasi, dosis, indeks terapi, BCS, dsb. Terkait
dengan kriteria – kriteria tersebut, beberapa obat dengan sifat – sifat berikut
tidak cocok untuk dibuat dalam sediaan MR:
1. Sediaan dengan waktu paro eliminasi yang pendek (kurang dari 4 jam). Jiak suatu obat yang mempunyai t ½ eliminasi pendek ingin diformulasikan dalam bentuk MR, maka dosis yang diberikan harus cukup besar. Masalah timbul jika ternyata dia memiliki therapeutic range yang sempit.
1. Sediaan dengan waktu paro eliminasi yang pendek (kurang dari 4 jam). Jiak suatu obat yang mempunyai t ½ eliminasi pendek ingin diformulasikan dalam bentuk MR, maka dosis yang diberikan harus cukup besar. Masalah timbul jika ternyata dia memiliki therapeutic range yang sempit.
2.
Sediaan obat dengan waktu paro yang panjang ( lebih dari 20 jam). Obat dengan
waktu paro panjang biasanya juga memiliki interval konsumsi yang relatif
panjang, sehingga pembentukan MR3 tidak perlu
4.
Absorbsi rendah. Ingat aturan 5 (rule of five).
5.
Absorbsi secara aktif
6.
Kelarutan rendah
7.
First Pass Effect yang Ekstensif
Sistem
Distribusi Obat di Rumah Sakit
TINJAUAN PUSTAKA
A. Sistem Distribusi Obat di Rumah Sakit
Proses distribusi yaitu penyerahan obat sejak
setelah sediaan disiapkan oleh IFRS sampai
diantarkan
kepada perawat, dokter atau profesional
pelayanan kesehatan lain untuk diberikan
kepada penderita. Sistem
distribusi obat di rumah sakit untuk
pasien rawat inap adalah tatanan jaringan
sarana, personel, prosedur dan
jaminan mutu yang serasi, terpadu, dan berorientasi penderita dalam
kegiatan penyampaian sediaan obat beserta
informasinya kepada pasien. Sistem distribusi obat untuk pasien rawat inap
yang diterapkan di rumah sakit sangat
bervariasi, hal ini tergantung pada kebijakan rumah sakit, kondisi dan
keberadaan fasilitas fisik, personel dan tata
ruang rumah sakit.
Suatu sistem distribusi obat yang
efisien dan efektif sangat tergantung pada
desain sistem dan
pengelolaan yang baik. Suatu sistem
distribusi obat yang di desain dan di
kelola dengan baik harus dapat
mencapai berbagai hal sebagai berikut :
- Ketersediaan obat tetap terpelihara
- Mutu dan kondisi sediaan obat tetap stabil
dalam seluruh proses distribusi
- Kesalahan obat minimal dan keamanannya
maksimum pada penderita
- Obat yang rusak dan kadaluarsa sangat
minimal
- Efisiensi dalam penggunaan sumber terutama
personel
- Meminimalkan pencurian, kehilangan,
pemborosan, dan penyalah gunaan obat
- IFRS mempunyai akses
dalam semua tahap produksi untuk
pengendalian, pemantauan dan penerapan
pelayanan farmasi klinik
- Terjadinya interaksi antara
dokter-apoteker-perawat-penderita
- Harga terkendali
- Meningkatnya penggunaan obat yang rasional
Berdasarkan distribusi obat untuk pasien rawat inap, ada empat sistem yang
digunakan yaitu :
1. Sistem floor stock lengkap
2. Sistem resep individu atau permintaan lengkap
3. Sistem distribusi obat dosis unit (UDDD/Unit Dose Drug Distribution)
4. Sistem kombinasi resep individu, floor stock lengkap dan distribusi obat
dosis unit.
Berdasarkan ada atau tidaknya satelit farmasi, sistem distribusi obat
dibagi menjadi dua sistem, yaitu :
1. Sistem pelayanan terpusat (sentralisasi)
2. Sistem pelayanan terbagi (desentralisasi)
B. Metode Distribusi Obat untuk Pasien Rawat Inap
1. Sistem floor stock lengkap
Adalah suatu sistem pengelolaan dan
distribusi obat sesuai dengan yang ditulis
oleh dokter pada
resep obat yang disiapkan oleh perawat dan persediaan obatnya juga berada
di ruang perawat dan langsung
diberikan pada pasien diruang rawat inap tersebut.
Penggunaan sistem
floor stock lengkap dianjurkan
untuk diminimalkan agar menjamin
pengemasan control dan identifikasi obat
walaupun sistem ini tetap dipertahankan pada
kondisi tertentu
seperti :
- Dalam bagian emergensi dan ruang operasi, dimana obat
biasanya harus selalu cepat tersedia segera
setelah mendapat resep dokter.
- Pada situasi yang dapat
mengancam kehidupan pasien, ketersediaan
obat-obat di sekitar pasien
sangat dibutuhkan.
- Obat-obatan dengan harga rendah dan biasa dipakai(high volume drug) dapat dikelola dengan
cara
ini dengan catatan
kemungkinan terjadi medication erroryang kecil.
Sistem ini sekarang tidak digunakan
lagi karena tanggung jawab besar dibebankan
pada perawat yaitu
menginterpretasikan resep dan menyiapkan obat yang sebetulnya adalah
tanggung jawab apoteker.
Keuntungan sistem ini
yaitu :
- Obat yang diperlukan segera tersedia bagi pasien
- Peniadaan pengembalian obat yang tidak terpakai ke
IFRS
- Pengurangan penyalinan resep
- Pengurangan jumlah personel IFRS
Keterbatasan sistem ini :
- Kesalahan obat sangat meningkat karena resep obat
tidak dikaji langsung oleh apoteker
- Persediaan obat di ruang perawat meningkat dengan
fasilitas ruangan yang sangat terbatas
- Pencurian obat meningkat
- Meningkatnya bahaya karena kerusakan obat
- Penambahan modal investasi untuk menyediakan fasilitas
penyimpanan obat sesuai di setiap daerah
perawatan pasien
- Diperlukan waktu tambahan bagi perawat untuk menangani
obat
- Meningkatnya kerugian karena kerusakan obat
2. Sistem resep individual/permintaan lengkap
Sistem distribusi obat resep individual adalah sistem pengelolaan dan
distribusi obat oleh IFRS sentral
sesuai dengan yang tertulis pada resep yang ditulis dokter untuk
setiap penderita. Dalam sistem ini, semua
obat yang diperlukan untuk pengobatan di dispensing dari IFRS. Resep asli
dikirim ke IFRS oleh perawat,
kemudian resep itu diproses sesuai dengan
cara dispensing yang
baik dan obat siap untuk didistribusikan
kepada pasien.
Keuntungan sistem distribusi resep individual :
- Semua resep dikaji langsung oleh apoteker yang dapat
memberi keterangan atau informasi kepada
perawat berkaitan dengan obat yang dipakai.
- Memberi kesempatan interaksi profesional antara
apoteker-dokter-perawat-penderita.
- Pengendalian perbekalan yang mudah
- Mempermudah penagihan biaya kepada pasien
Keterbatasan dalam sistem distribusi resep individual :
- Kemungkinan keterlambatan sediaan obat sampai ke
penderita
- Jumlah kebutuhan personel di IFRS meningkat
- Memerlukan jumlah
perawat waktu yang lebih banyak untuk penyimpanan obat di ruangan
pada
waktu konsumsi obat
- Terjadinya kesalahan obat karena kurang pemeriksaan
sewaktu penyiapan konsumsi.
3. Kombinasi Sistem Resep Individu dan Floor Stock
Lengkap
Sistem kombinasi ini biasanya diadakan untuk mengurangi beban kerja IFRS.
Obat yang disediakan
di ruang perawat adalah obat yang diperlukan oleh banyak pasien, setiap
hari diperlukan dan biasanya adalah
obat yang harganya relatif murah. Jenis
dan jumlah obat yang tersedia di
ruangan ditetapkan oleh PFT
dengan masukan dari IFRS dan pelayanan keperawatan.]
Keuntungan sistem ini :
- Semua resep individu dikaji langsung oleh apoteker
- Adanya kesempatan interaksi profesional antara
apoteker-dokter-perawat-pasien
- Obat yang diperlukan dapat segera tersedia bagi pasien
- Beban IFRS dapat berkurang
Keterbatasan sistem ini adalah :
- Kemungkinan keterlambatan sediaan obat sampai ke
pasien (obat resep individu)
- Kesalahan obat dapat terjadi (obat dari floor stock lengkap)
4. Sistem Distribusi Obat Dosis Unit/Unit Dose Drug
Distribution (UDDD)
Obat dosis unit adalah obat yang
disorder oleh dokter untuk penderita, terdiri
atas satu atau
beberapa jenis obat yang masing-masing dalam kemasan
dosis unit tunggal dalam jumlah persediaan yang
cukup untuk suatu waktu
tertentu.
Sistem ini memerlukan biaya awal yang besar, akan tetapi keterlibatan
perawat dalam menyiapkan
obat tidak begitu tinggi, selain itu mengurangi kemungkinan adanya
kesalahan obat.
Unsur khusus yang menjadi dasar semua
sistem dosis unit adalah; obat dikemas
dalam kemasan
dosis unit tunggal, didispensing dalam bentuk siap konsumsi, dan untuk
kebanyakan obat tidak lebih dari 24
jam persediaan dosis, diantarkan ke ruang perawatan penderita pada setiap
waktu.
Ada tiga metode sistem distribusi obat dosis unit :
1) Sistem distribusi obat dosis unit
sentralisasi
Dilakukan oleh IFRS ke semua daerah
perawatan penderita rawat inap di RS
secara keseluruhan.
Artinya, di rumah sakit tersebut mungkin hanya satu IFRS tanpa adanya
cabang IFRS di beberapa daerah
perawatan.
2) Sistem distribusi obat dosis unit desentralisasi
Dilakukan oleh beberapa cabang IFRS di
sebuah RS. Pada dasarnya sama dengan sistem
distribusi obat persediaan lengkap di
ruang, hanya saja dikelola seluruhnya oleh
apoteker yang sama
dengan pengelola dan pengendalian oleh
IFRS sentral. Meskipun tiap rumah sakit
memiliki cara yang
berbeda-beda dalam penerapannya, berikut merupakan contoh prosedur yang
dapat dilakukan :
- Pasien setelah didiagnosa semua datanya
dicatat dalam kartu profil pasien
- Resep dikirim ke farmasis
- Resep dicatat di kartu profil pasien
- Farmasis memeriksa resep untuk kemungkinan
terjadinya alergi, interaksi
obat dan
kerasionalan terapi
- Jadwal pemberian obat dikoordinasikan
dengan ruang perawat
- Farmasis mengambil obat
sesuai resep, menempatkan obat dalam kereta
obat sesuai jadwal
pemberian obat
- Kereta obat diisi dengan dengan obat
sesuai jadwal pengiriman ke pasien
- Farmasis memeriksa kereta obat sebelum
diantarkan
- Perawat memberikan obat ke pasien dan
mencatat medication recordnya
- Kereta obat diperiksa ulang sebelum
dikembalikan ke IFRS
- Selama proses
berlangsung, farmasis dapat berkonsultasi ke
dokter dan perawat untuk
mencegah terjadinya
penghentian pengobatan
Dasar untuk mengadakan pelayanan IFRS desentralisasi adalah :
a) Kebutuhan penderita
Sistem distribusi obat sentralisasi untuk penderita rawat inap yang
didispensing dari IFRS sentral seringkali
mengakibatkan meningkatnya kesalahan obat,
keterlambatan penerimaan dosis mula, memperpanjang
tinggal penderita di rumah sakit serta meningkatnya biaya yang dikeluarkan
penderita. Sistem distribusi obat
dan lingkup praktek klinik apoteker perlu disesuaikan dengan kemajuan dalam
terapi obat.
b) Kebutuhan perawat
Perawat memainkan suatu peranan penting dalam sistem distribusi obat di
rumah sakit. Pelayanan IFRS
sentralisasi seringkali menimbulkan banyaknya pertanyaan yang
berkaitan dengan obat tak terjawab oleh
perawat yang sibuk. Pelayanan IFRS desentralisasi dapat segera melakukan
kegiatan yang berkaitan dengan
obat dan dukungan informasi obat kepada perawat jika
diperlukan. Sistem distribusi obat untuk penderita
rawat inap menggunakan IFRS cabang (satelit) dapat meningkatkan efisiensi
perawat dibandingkan dengan
sistem distribusi obat sentralisasi.
c) Kebutuhan dokter
Dokter mendiagnosis masalah medik dan
menulis suatu rencana terapi. Penulisan
obat seringkali
merupakan suatu aspek kritis dari
perawatan pasien rawat inap. Komplikasi
obat yang telah diidentifikasi
sebelumnya menggambarkan kebutuhan dokter
akan informasi umum obat dan informasi obat
klinik
tertentu. Pengelolaan terapi obat penderita
oleh apoteker dapat mengurangi reaksi obat yang
merugikan
dan mempercepat pembebasan penderita dari
rumah sakit. Apoteker yang praktek di
daerah perawatan
penderita dapat
memberikan pengetahuan dan pengalaman klinik obat untuk membantu dokter
mengelola
terapi obat penderita mereka.
d) Kebutuhan apoteker
Dalam lingkungan desentralisasi, apoteker
dapat menghubungkan secara langsung kebutuhan
terapi
obat penderita sebagai hasil dari kemudahan
pencapaian penderita, perawat, dokter dan
rekam medik.
Apoteker dapat mengembangkan keahlian dalam
daerah perawatan tertentu, seperti pediatrik,
obgyn,
penyakit dalam dan bedah apabila menggeluti bidang yang sama di rumah sakit
selama periode waktu yang
terus menerus.
Pengalaman apoteker dalam terapi penderita rawat inap akan meningkat dan
selama waktu itu dapat
menjadi seorang ahli dalam pengertian variabel
penderita yang signifikan untuk terapi obat
resiko tinggi.
Hubungan dengan staf medik dapat dikembangkan, sehingga masukan dari
apoteker pada resep terapi obat
dapat dibuat sebelum resep ditulis, daripada menanggapi masalah setelah
resep selesai ditulis.
Uraian karakteristik dan manfaat dari IFRS desentralisasi yaitu :
a) Kunjungan ke ruang perawatan penderita
Apoteker menyertai tim dokter dalam kunjungan
ke ruang penderita. Partisipasi apoteker dalam
kunjungan ini adalah pemberian informasi obat atas permintaan dokter atau
atas prakarsa apoteker sendiri.
b) Wawancara penderita
Informasi sejarah pengobatan penderita diperoleh
secara lisan oleh apoteker untuk melengkapi
rekaman IFRS. Informasi dapat termasuk obat
resep dan obat bebas yang digunakan, alergi
obat dan
pengetahuan tentang kerja obat. Masalah
tentang terapi obat penderita terdahulu
diidentifikasi demikian
juga obat yang bermanfaat atau tidak
bermanfaat. Obat-obat yang tidak bermanfaat
dan penyebab alergi
tersebut dapat dihindari selama hospitalisasi.
c) Pemantauan terapi obat penderita
Kartu pengobatan penderita dikaji untuk memastikan bahwa penderita menerima
terapi obat yang
aman dan efektif. Obat yang dikonsumsi, uji laboratorium yang
berkaitan, diagnosis penderita dan kondisi
medik adalah bagian penting dari proses pemantauan. Masalah terapi obat
yang mungkin berubah dan yang
diidentifikasi dikomunikasikan dengan dokter,
sehingga akan dihasilkan terapi obat yang
lebih aman dan
lebih efektif.
d) Pertanyaan dokter
Pertanyaan dari dokter tentang terapi obat
penderita dan pertanyaan informasi obat
umum dijawab
oleh apoteker. Terapi obat yang lebih aman dan lebih efektif akan
dihasilkan jika pertanyaan dijawab secara
akurat dan diterapkan dalam terapi penderita.
e) Pertanyaan perawat
Pertanyaan perawat tentang terapi obat penderita, informasi obat umum dan
resep obat dijawab oleh
apoteker. Pemberian obat oleh perawat lebih akurat dan aman dengan
pengetahuan obat yang lebih luas.
f) Informasi obat
Dokter sering mengajukan pertanyaan tentang informasi obat
yang berkaitan dengan masalah terapi
obat penderita yang memerlukan penelitian dari pustaka informasi yang
tersedia untuk melayani pertanyaan
tersebut. Jawaban apoteker harus menghasilkan terapi obat yang lebih aman
dan efektif.
g) Pelayanan terapi obat yang diatur oleh apoteker
Apoteker mengembangkan dan melaksanakan pelayanan terapi obat tertentu atas
permintaan dokter.
Seperti
mengatur antikoagulasi, penjadwalan pemberian
obat bagi penderita dengan status ginjal
membahayakan,
obat-obat yang mempengaruhi darah dan hati,
pengaturan dosis aminoglikosid,
pengendalian kesakitan, dukungan nutrisi dan terapi
aminofilin. Pelayanan demikian harus menghasilkan
terapi obat yang lebih aman dan lebih spesifik bagi penderita.
h) Farmakokinetik klinik
Penerapan pelayanan farmakokinetik klinik dapat berhasil bila ditunjang
oleh keberadaan laboratorium
farmakokinetik yang dikendalikan oleh IFRS. Aspek
terpenting dari pelayanan ini antara lain menetapkan
jadwal waktu untuk pengambilan konsentrasi zat aktif yang tepat guna
menjamin agar hasil pengujian dapat
digunakan. Berdasarkan konsentrasi zat aktif dalam serum,
apoteker dapat memodifikasi dosis dan jadwal
waktu pemberian untuk mencegah toksisitas dan menjamin kemanjuran terapi.
i) Evaluasi penggunaan obat
Program evaluasi penggunaan obat yaitu suatu
proses penjaminan mutu yang disahkan rumah
sakit, dilakukan terus menerus, terstruktur, ditujukan guna memastikan
bahwa obat digunakan secara tepat,
aman dan efektif. Dalam rumah sakit,
apoteker harus menerapkan kepemimpinannya dan bekerja
sama
dengan staf medik, perawat dan pimpinan jika diperlukan dalam merencanakan
dan melaksanakan evaluasi
penggunaan obat. Studi kasus obat tertentu dilakukan dan ketidaktepatan
penulisan resep oleh dokter harus
diperbaiki melalui program pendidikan.
Keuntungan dari penerapan IFRS desentralisasi bagi berbagai pihak yang
terlibat yaitu :
- Obat dapat segera tersedia untuk dikonsumsi pasien
- Pengendalian obat dan akuntabilitas semakin baik
- Apoteker dapat berkomunikasi langsung dengan dokter
dan perawat
- Sistem distribusi obat berorientasi pasien sangat
berpeluang untuk diterapkan
- Apoteker dapat mengkaji kartu pengobatan pasien dan
dapat berbicara dengan pasien secara efisien
- Informasi obat dari apoteker segera tersedia bagi
dokter dan perawat
- Waktu kerja perawat dalam
distribusi dan penyiapan obat berkurang
karena tugas itu dilakukan
oleh personel IFRS desentralisasi
- Spesialisasi terapi obat bagi apoteker yang
terspesialisasi dapat dikembangkan dan diberikan secara
efisien
- Apoteker lebih mudah melakukan
penelitian klinik obat dan studi asesmen
mutu terapi obat
penderita.
Keterbatasan sistem distribusi obat desentralisasi antara lain :
- Semua apoteker klinik harus
cakap sebagai penyelia untuk bekerja secara
efektif dengan asisten
apoteker dan teknisi lainnya
- Apoteker biasanya bertanggung
jawab untuk pelayanan distribusi dan pelayanan
klinik. Waktu
yang mereka gunakan dalam kegiatan yang
bukan distribusi obat tergantung pada ketersediaan
asisten apoteker dan teknisi bermutu untuk secara efektif mengorganisasikan
waktu
- Pengendalian
inventarisasi obat dalam IFRS keseluruhan lebih rumit karena lokasi IFRS cabang
yang
banyak untuk obat yang sama, terutama untuk obat yang jarang ditulis
- Komunikasi langsung
dalam IFRS keseluruhan lebih sulit karena staf berpraktek dalam lokasi
fisik
yang banyak
- Lebih banyak alat yang diperlukan, misalnya pustaka informasi
obat, lemari pendingin, rak obat dan
alat untuk meracik
- Jumlah
pasien yang banyak menyebabkan beban kerja
distribusi obat dapat melebihi kapasitas
ruangan dan personel dalam unit IFRS desentralisasi yang kecil.
3) Sistem distribusi obat dosis unit kombinasi sentralisasi dan desentralisasi
Biasanya hanya untuk dosis mula dan dosis dalam keadaan darurat dilayani
cabang IFRS. Dosis
selanjutnya dilayani IFRS sentral. Semua pekerjaan tersentralisasi, seperti
pengemasan dan pencampuran
sediaan intravena juga dimulai dari IFRS sentral.
Keuntungan :
- Penderita menerima pelayanan IFRS 24 jam sehari dan
penderita membayar obat yang dikonsumsi
saja
- Semua dosis yang diperlukan pada unit perawat telah
disiapkan IFRS
- Mengurangi kesalahan obat. Adanya sistem
pemeriksaan ganda dengan menginterpretasi
resep/order dokter dan apoteker membuat
P-3 kemudian perawat memeriksa obat yang
disiapkan IFRS
- Peniadaan duplikasi resep obat yang berlebihan
- Pengurangan kerugian biaya obat yang tidak terbayarkan
oleh pasien
- Penyiapan sediaan intravena dan rekonstistusi obat
oleh IFRS
- Meningkatkan penggunaan personel profesional dan
nonprofesional yang lebih efisien
- Mengurangi kehilangan pendapatan
- Menghemat ruangan di unit perawatan
- Meniadakan pencurian dan pemborosan obat
- Memperluas cakupan dan
pengendalian IFRS di RS secara keseluruhan sejak dokter menulis resep
sampai penderita menerima dosis unit
- Kemasan dosis unit secara sendiri-sendiri diberi
etiket dengan nama obat, kekuatan, nomor kendali
dan kemasan tetap utuh sampai obat siap dikonsumsi
pasien, juga membantu dalam penelusuran
kembali kemasan apabila terjadi penarikan obat
- Sistem komunikasi pengorderan dan pengantaran obat
bertambah baik
- Apoteker dapat datang ke unit perawat ruang penderita
untuk melakukan konsultasi obat
Pengurangan biaya total kegiatan yang berkaitan dengan obat
- Peningkatan pengendalian obat dan pemantauan penggunaan
obat menyeluruh
- Pengendalian yang lebih besar oleh apoteker atas pola
beban kerja IFRS dan penjadwalan staf
- Penyesuaian
yang lebih besar untuk prosedur komputerisasi dan otomatisasi
C. Metode Distribusi Obat Berdasarkan Ada/Tidaknya Satelit Farmasi
1. Sistem Pelayanan Terpusat ( sentralisasi )
Sentralisasi adalah sistem pendistribusian
perbekalan farmasi yang dipusatkan pada satu tempat yaitu instalasi
farmasi. Pada sentralisasi seluruh kebutuhan perbekalan farmasi setiap unit
pemakai baik untuk kebutuhan
individu maupun kebutuhan barang dasar ruangan disuplay langsung dari pusat
pelayanan farmasi tersebut.
Permasalahan yang tejadi pada penerapan metoda ini
disuatu rumah sakit adalah :
a) Komunikasi yang terjadi antara farmasi dengan dokter, perawat dan
pasien kecil
b) Farmasis kurang dapat melihat data riwayat pasien (patient record)
dengan cepat.
2. Sistem Pelayanan Terbagi
Desentralisasi adalah sistem pendistribusian
perbekalan farmasi yang mempunyai cabang didekat
unit perawatan/pelayanan. Cabang ini dikenal dengan
istilah depo farmasi/satelit. Pada desentralisasi,
penyimpanan dan pendistribusian perbekalan farmasi
ruangan tidak lagi dilayani oleh pusat pelayanan
farmasi. Instalasi farmasi dalam hal ini
bertanggung jawab terhadap keamanan dan
efektivitas perbekalan
farmasi yang ada di depo farmasi.
Tanggung jawab farmasis dalam kaitan dengan
distribusi obat disatelit farmasi :
a) Dispensing
dosis awal pada permintaan baru dan
larutan intravena tanpa tambahan (intravena
solution without addities)
b) Memeriksa permintaan obat dengan melihat medication
administration record (MAR)
c) Menuliskan nama generik dari obat pada MAR
d) Memecahkan masalah yang berkaitkan dengan distribusi.
Ruang Lingkup Kegiatan Pelayanan Depo famasi
1. Pengelolaan perbekalan farmasi
Bertujuan untuk menjamin tersedianya perbekalan farmasi dalam jumlah dan
jenis yang tepat
dan dalam keadaan siap pakai pada waktu dibutuhkan oleh pasien, dengan
biaya seefisien mungkin.
a) Pengelolaan perbekalan farmasi terbagi atas :
1)
2)
Pengelolaan barang farmasi dasar (BFD)
Meliputi obat dan alat kesehatan yang diperoleh dari sub instalasi
perbekalan farmasi.
Pengelolaan barang farmasi non-dasar (BFND)
Depo farmasi melakukan pengelolaan BFND mulai
dari penerimaan sampai dengan
pendistribusian. Perencanaan ini tidak dilakukan mulai depo farmasi.
b) Kegiatan pengelolaan perbekalan farmasi meliputi :
1) Perencanaan
Bertujuan untuk menyusun kebutuhan
perbekalan farmasi tang tepat sesuai kebutuhan,
mencegah terjadinya kekurangan barang
farmasi, meningkatkan penggunaan perbekalan
farmasi yang efektif dan efisien.
2) Pengadaan
Bertujuan untuk memenuhi kebutuhan perbekalan farmasi yang
berkualitas berdasarkan fungsi
perencanaan dan penentuan kebutuhan.
3) Penerimaan
Bertujuan untuk mendapatkan perbekalan farmasi yang berkualitas
sesuai kebutuhan.
4) Penyinpanan
Bertujuan untuk menjaga agar mutu perbekalan farmasi tetap terjamin,
menjamin kemudahan
mencari perbekalan farmasi dengan cepat pada
waktu dibutuhkan dan mencegah kehilangan
perbekalan farmasi.
5) Pendistribusian
Bertujuan untuk memberikan perbekalan farmasi yang tepat dan aman pada
waktu dibutuhkan
oleh pasien.
2. Pelayanan Farmasi Klinik
Bertujuan untuk menjamin kemanjuran,
keamanan dan efisiensi penggunaan obat serta
dalam rangka
meningkatkan penggunaan obat yang rasional.
3. Administrasi
Kegiatan administrasi berupa stock
opname perbekalan farmasi, pencatatan perbekalan
farmasi yang
rusak/tidak sesuai dengan aturan kefarmasian,
pelaporan pelayanan perbekalan farmasi dan pelaporan
farmasi klinik.