Pages

Pengikut

Tentangku

Wasis DPCoorporation. Diberdayakan oleh Blogger.

FECEBOOK

SISTEM DISPRESI EMULSI

Sabtu, 29 Oktober 2016


BAB I
PENDAHULUAN

1.1              Latar Belakang
Sistem koloid banyak digunakan pada kehidupan sehari-hari, terutama dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini disebabkan sifat karakteristik koloid yang penting, yaitu dapat digunakan untuk mencampur zat-zat yang tidak dapat saling melarutkan secara homogen dan bersifat stabil untuk produksi dalam skala besar.Salah satu sistem koloid yang ada dalam kehidupan sehari – hari dan dalam industri adalah jenis emulsi.

Emulsi merupakan suatu sistem yang tidak stabil, sehinggkan  dibutuhkan zat pengemulsi atau emulgator untuk menstabilkannya sehingga antara zat yang terdispersi dengan pendispersinnya tidak akan pecah atau keduannya tidak akan terpisah. Ditinjau dari segi kepolaran, emulsi merupakan campuran cairan polar dan cairan non polar.Salah satu emulsi yang kita kenal sehari-hari adalah susu, di mana lemak terdispersi dalam air. Dalam susu terkandung kasein suatu protein yang berfungsi sebagai zat pengemulsi. Bebera contoh emulsi yang lain adalah pembuatan es krim, sabun, deterjen, yang menggunakan pengemulsi gelatin.

Dari hal tersebut diatas maka sangatlah penting untuk mempelajari sistem emulsi karena dengan tahu banyak tentang sistem emulsi ini maka akan lebih mudah juga untuk mengetahui zat – zat pengemulsi apa saja yang cocok untuk menstabilkan emulsi selain itu juga dapat diketahui faktor – faktor yang menentukan stabilnya emulsi tersebut karena selain faktor zat pengemulsi tersebut juga dipengaruhi gaya sebagai penstabil emulsi.
Sistem emulsi termasuk jenis koloid dengan fase terdispersinya berupa zat cairnamun dalam makalah ini kita hanya akan membahas mengenai sistem emulsi saja diantaranya dari defenisi emulsi, mekanisme secara kimia dan fisika, teori dan persamaannya dan serta penerapannya dalam kehidupan sehari – hari dan industri. 

1.2              Tujuan

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1  Teori Emulsifikasi
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, dibuatlah suatu "Teori Emulsifikasi" yang dapat menjelaskan mengenai hal itu. Teori emulsifikasi ini dapat terbagi menjadi 2--berdasarkan buku panduan praktikum farmasi fisika yang saya miliki--yaitu "Teori Tegangan Permukaan" dan "Teori Oriented-Wedge".

Teori tegangan permukaan menjelaskan bahwa dalam hal ini, sebuah emulgator dapat membentuk emulsi dengan menurunkan tegangan permukaannya. Suatu emulsi dapat stabil secara termodinamika apabila energi bebasnya kecil atau sama dengan nol. Sementara kita tahu bahwa energi bebas merupakan perkalian antara tegangan permukaan dan luas permukaan. 
Description: C:\Users\Creative\Downloads\emulsi.jpg
 






Sehingga apabila tegangan permukaannya yang diturunkan, maka dapat menurunkan pula energi bebasnya dan menghasilkan suatu emulsi yang stabil.

Selain itu, dengan adanya penurunan pada tegangan permukaan juga dapat mengurangi gaya tolak menolak antara kedua cairan yang saling tidak bercampur pada awalnya dan juga mengurangi gaya tarik menarik antara cairan yang sejenis sebagaimana kita tahu bahwa suatu emulsi pada awalnya merupakan campuran zat cair yang saling tidak bercampur karena kuatnya gaya kohesi (tarik menarik dengan cairan sejenis) dan juga lemahnya gaya adhesi (tarik menarik dengan zat cair yang berbeda yang dengan kata lain antara kedua zat cair, gaya tolak menolaknya besar) sehingga dengan demikian lebih mendorong kedua cairan untuk saling terpisah.

Kemudian Teori oriented wedge, berdasarkan definisi per katanya yang wedge artinya pengganjal atau penjepit maka berdasarkan pemahaman saya sendiri teori tersebut ingin menjelaskan peranan emulgator dalam pembentukan emulsi yang stabil dengan berperan sebagai suatu pengganjal atau penjepit. 

Dua cairan yang saling terpisah tersebut dengan adanya emulgator sebagai pengganjal atau penjepit akhirnya dapat saling menyatu. Kenapa emulgator tersebut bisa mengganjal atau menjepit kedua cairan yang saling berbeda sifatnya? Karena emulgator tersebut memilki kedua sifat tersebut. Sebagaimana kita tahu bahwa suatu emulsi yang terdiri dari dua cairan yang saling tidak bercampur, pada umumnya karena cairan yang satu bersifat hidrofilik sementara yang satunya lagi bersifat lipofilik. Oleh karena itulah dalam hal ini, emulgator tersebut dapat menjepit karena memiliki kedua sifat tersebut. Bagian dari emulgator yang bersifat hidrofilik akan memegang cairan yang bersifat hidrofilik sementara bagian lainnya dari emulgator yang bersifat lipofilik memengang cairan satunya lagi yang bersifat lipofilik.

Berdasarkan teori yang kedua ini, bisa diketahui bahwa suatu emulgator memiliki dua sifat yaitu hidrofilik dan lipofilik. Pada kenyataannya, distribusi kekuatan sifatnya tersebut tidak sama, hanya salah satu sifatnya saja yang akan lebih dominan. Ukuran dari keseimbangan antara sifat hidrofilik dan lipofilik ini ditetapkan dalam suatu ukuran yang disebut dengan HLB (Hidrofilik Lipofilik Balance). 

Dengan adanya HLB tersebut, oleh Griffin, diberikan suatu skala yang menetapkan bahwa nilai HLB yang kecil menunjukkan sifat emulgator yang lebih lipofilik sementara yang nilai HLBnya besar menunjukkan sifat hidrofiliknya yang lebih dominan.

Sebelumnya, perlu diketahui bahwa dalam emulsi ini, terdapat dua tipe, yaitu tipe A/M (Air dalam Minyak) dan tipe M/A (Minyak dalam Air). Yang menentukan suatu emulsi merupakan tipe A/M atau M/A adalah jumlah dari tiap-tiap zatnya. Untuk tipe A/M artinya jumlah air lebih sedikit dibandingkan minyak sehingga air berperan sebagai zat terdispersi (fase internalnya) dan minyak berperan sebagai zat pendispersi (fase eksternalnya), begitu juga sebaliknya, untuk tipe M/A, jumlah minyak sebagai zat terdispersi lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah air sebagai zat pendispersinya. 

Selain jumlah zatnya, HLB suatu emulgator juga dapat mempengaruhi tipe emulsi. Apabila kita menginginkan untuk membuat emulsi tipe A/M maka kita harus menggunakan HLB yang sesuai yaitu yang memiliki sifat lipofilik yang lebih dominan yaitu yang antara 3-6. Sementara apabila kita menginginkan tipe emulsi M/A maka kita harus menggunakan HLB yang memiliki sifat hidrofilik yang lebih dominan yaitu yang antara 8-18. Jadi tergantung dari sifat zat cair pendispersinya yang jumlahnya lebih banyak, apabila yang jumlah pendispersinya lebih banyak adalah minyak (yang bersifat lipofilik) maka HLB yang digunakan haruslah yang sesuai dengan yang jumlahnya lebih banyak yaitu yang HLBnya kisaran lipofilik juga (3-6) begitu pula sebaliknya. Dengan kata lain, apabila tidak sesuai maka tipe emulsi yang diinginkan mungkin tidak dapat tercapai. Sekiranya pemahaman saya terkait yang satu ini begitu, apabila ternyata salah, saya mohon maaf. 

Dalam hal ini fungsi dari mengetahui harga HLB tiap emulgator adalah untuk mengetahui seberapa banyak emulgator yang dibutuhkan sebenarnya sampai pada harga HLB berapa hingga dapat membentuk emulsi yang optimal dan stabil. Tiap jenis minyak memiliki HLB butuhnya masing-masing, misalnya saja parrafin liquid, parrafin liquid memiliki HLB butuh 12, artinya untuk dapat membentuk suatu emulsi yang stabil dengan jenis minyak ini, perlu menggunakan emulgator dengan kisaran HLB demikian. Diketahuinya HLB butuh parrafin liquid adalah sebesar 12, ditentukan berdasarkan percobaan. HLB butuh ini juga tergantung dari tipe emulsi yang diinginkan, akan berbeda apabila kita ingin membuat emulsi dengan parrafin liquid tetapi tipe emulsinya M/A maka HLB butuhnya menjadi 5.

2.2   Stabilitas Fisika Emulsi
Stabilitas Emulsi
Sebagaimana diketahui, alaminya minyak dan air tidak bisa menyatu. Keduanya akan cenderung untuk memisah. Hal ini karena adanya adanya tegangan antar muka di antara keduanya. Tegangan antar muka ini menyebabkan setiap permukaan air dan minyak membutuhkan energy. Semakin banyak permukaan air yang bertemu atau berbatasan dengan permukaan minyak, maka semakin banyak pula energy yang dibutuhkan untuk mempertahankan kondisi tersebut. Namun, dalam emulsi, keduanya “dipaksa” untuk menyatu, artinya semakin banyak permukaan air yang “dipaksa” untuk bertemu dengan permukaan minyak. Akibatnya, energy yang dibutuhkan pun semakin besar. Karena tidak ada supply energy, maka ketika didiamkan kedua fase tersebut akan cenderung untuk memisah agar antar muka yang saling bersinggungan semakin sedikit. Keadaan seperti inilah yang disebut sebagai rusaknya suatu emulsi atau ketidakstabilan emulsi.
Mekanisme ketidakstabilan emulsi ini dapat terjadi melalui beberapa jalan, yaitu:
Coalescence: yaitu peristiwa 2 tetesan minyak (atau air) bersatu dan membentuk membentuk suatu tetesan baru yang lebih besar tetapi memiliki luas permukaan yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan jika tetesan baru tersebut pecah menjadi tetesan – tetesan kecil seperti semula. Jika dibiarkan, hal ini akan terus berlangsung hingga semua tetesan minyak (atau air) menyatu dan akhirnya membentuk lapisan sendiri yang terpisah dari emulsi.
Flocculation atau Flokulasi adalah suatu peristiwa berkumpulnya beberapa tetesan minyak tetapi tidak membentuk tetesan minyak baru yang lebih besar seperti pada peristiwa coalescence hingga mengakibatkan distribusinya dalam emulsi tidak merata (tidak homogeny lagi).
Peristiwa coalescence dan flocculation secara bersama – sama akan menyebabkan peristiwacreacking atau breaking. Peristiwa ini mungkin disebabkan oleh ketidaktepatan pemilihan emulgator dalam formulasi, emulgator mengalami dekomposisi, atau temperature penyimpanan yang tidak sesuai. Problem ini tidak cukup diatasi hanya dengan penggojigan ringan. Dengan kata lain, emulsi yang mengalami hal ini telah rusak sama sekali.
Creaming yaitu peristiwa mengapungnya fase minyak. Hal ini terjadi jika fase minyak memiliki densitas yang lebih kecil daripada fase air. Definisi lain menyebutkan bahwa creaming merupakan peristiwa memisahnya emulsi menjadi 2 bagian dengan salah satu bagian mengandung lebih banyak fase disperse daripada bagian yang lain. Hal ini mungkin disebabkan karena homogentias emulsi ketika formulasi kurang tetapi masalh ini bisa diatasi dengan penggojogan ringan.
Description: https://coretanfifi.files.wordpress.com/2011/01/failure.gif?w=646
Phase Inversion atau pembalikan fase emulsi yang semula O/W menjadi W/O atau sebaliknya. Hal ini mungkin disebabkan terlalu banyaknya fase disperse (mencapai lebih dari 74%). Masalah ini juga tidak dapat diatasi hanya dengan penggojogan ringan.

Sedangkan bentuk – bentuk ketidak stabilan dari emulsi sendiri ada beberapa macam yaitu sebagai berikut :
·         Flokulasi, karena kurangnya zat pengemulsi sehingga kedua fase tidak tertutupi oleh lapisa pelindung sehingga terbentuklah flok –flok atau sebuah agregat
·         Koalescens, yang disebabkan hilangnya lapisan film dan globul sehingga terjadi pencampuran
·         Kriming, adanya pengaruh gravitasi membuat emulsi memekat pada daerah permukaan dan dasar
·         Inversi massa (pembalikan massa ) yang terjadi karena adannya perubahan viskositas
·         Breaking/demulsifikasi, lapisan film mengalami pemecahan sehingga hilang karena pengaruh suhu.
(Ladytulipe, 2009)

2.3  Evaluasi Stabilitas Fisika Emulsi
Evaluasi Tipe Krim
a.   Metode Pengenceran
Krim yang jadi dimasukkan ke dalam vial, kemudian diencerkan de-ngan air. Jika emulsi dapat diencerkan maka tipe emulsi adalah tipe m/a.
b.  Metode Dispersi Zat Warna
Emulsi yang dibuat dimasukkan ke dalam vial, kemudian ditetesi de-ngan beberapa tetes larutan biru me-tilen. Jika warna biru segera terdispersi ke seluruh emulsi maka tipe emulsinya adalah tipe m/a.
Evaluasi Kestabilan
a.   Pemeriksaan Hasil Jadi Krim
Pengamatan organoleptis dila-kukan terhadap sediaan krim, meliputi perubahan warna dan bau sebelum dan setelah kondisi penyimpanan diperce-pat.
b.  Pengukuran Volume Kriming
Sebanyak 25 ml krim dimasuk-kan ke dalam gelas ukur kemudian diberi kondisi penyimpanan dipercepat yaitu penyimpanan selang seling pada suhu 5oC dan 35oC masing-masing selama 12 jam sebanyak 10 siklus. Pengamatan volume kriming dilakukan setiap 1 siklus penyimpanan. Volume kriming dihitung dengan % rumus :
Volume kriming
Hu = Volume emulsi yang kriming, dan H= Volume total krim

Pengukuran Viskositas
Pengukuran viskositas dilaku-kan terhadap sediaan krim sebelum dan setelah diberi kondisi penyimpanan dipercepat yaitu penyimpanan selang-seling pada suhu 5oC dan 35oC masing-masing selama 12 jam sebanyak 10 siklus. Viskositas diukur dengan visko-meter Brookfield dengan menggunakan “spindle” no. 6.
Pengukuran Tetes Terdispersi
Sediaan dimasukkan ke dalam vial, kemudian dilakukan pengukuran tetes terdispersi sebelum dan setelah diberi kondisi penyimpanan dipercepat. Pengamatan ukuran tetes terdispersi di-lakukan dengan mikroskop.
Inversi Fase
Sediaan yang telah jadi diberi kondisi penyimpanan dipercepat diuji kembali tipe emulsinya dengan metode pengenceran dan metode dispersi zat warna metilen biru.5o C dan 35o C.

2.4  Hubungan Ionisasi dan ikatan hidrogen
  IONISASI DAN AKTIVITAS BIOLOGIS
 1.        Obat yang aktif dalam bentuk tidak terionisasi
Sebagian besar obat yang bersifat asam atau basa lemah, bentuk tidak terionisasinya dapat memberikan efek biologis. Hal ini dimungkinkan bila bekerja obat terjadi di membran sel atau didalam sel. Contohnya fenobarbital, turunan asam barbiturat yang bersifat asam lemah, bentuk tidak terionisasinya dapat menembus sawar darah otak dan menimbulkan efekpenekan fungsi sitem saraf pusat dan pernapasan.
Obat modern sebagian besar bersifat elektrolit lemah, yaitu asam atau basa lemah, dan derajat ionisasi atau bentuk ionisasi dan tidak terionisasinya ditentukan oleh nilai pKa dan suasana pH lingkungan. Hubungan antara pKa dengan fraksi obat terionisasi dan yang tidak terionisasi dari obat yang bersifat asam atau basa lemah, dinyatakan melalui persamaan Henderson-Hasselbech, sebagai berikut:
Untuk asam lemah: pKa = pH + log Cu/Ci
Untuk basa lemah : pKa = pH + log Ci/Cu
Perubahan pH dapat berpengaruh terhadap sifat kelarutan dan koefisien partisi obat. Garam dari asam atau basa lemah, bentuk tidak terionisasinya mudah diabsorpsi oleh saluran cerna, dan aktivitas biologis sesuai dengan kadar obat bebas yang terdapat dalam cairan tubuh.
Pada obat yang bersifat asam lemah, dengan meningkatnya pH, sifat ionisasi bertambah besar, bentuk tak terionisasi bertambah kecil, sehingga jumlah obat yang menembus membran biologis semakin kecil. Akibatnya, kemungkinan obat untuk berinteraksi dengan reseptor semakin renda aktivitas biologisnya semakin menurun.
Pada obat yang bersifat basa lemah, dengan meningkatnya pH, sifat ionisasi bertambah kecil, bentuk tak terionisasinya semakin besar, sehingga jumlah obat yang menembus membran biologis bertambah besar pula. Akibatya, kemungkinan obat untuk beriteraksi dengan reseptor bertambah besar dan aktivitas biologisnya semakin meningkat.
Perubahan pH juga berpengaruh terhadap kereaktifan gugus asam atau basa pada permukaan sel atau dalam sel mikroorganisme. Pada titik  isoelektrik, kation dan anion potensial molekul protein sel, misal gugus amino dan karboksilat pada alanin, selalu terdapat dalam bentuk ion Zwitter. Dengan bertingkatnya pH atu bertambah basa media, kadar anion sel akn bertambah besar sehingga meningkatkan aktivitas obat yang bersifat kation aktif. Sebaliknya, dengan menurunnya pH atau ertambah asam media, kadaar kation sel akan menjadi lebih besar, sehingga meningkatkan afinitas obat anion aktif.

2.        Obat yang aktif dalam bentuk ion
Beberapa senyawa obat menunjukkan aktivitas biologis yang makin meningkat bila derajat ionisasinya meningkat. Seperti diketahui dalam bentuk ion senyawa obat  umumnya sulit menenbus membran biologis, sehingga diduga senyawa obat dengan tipe ini memberikan efek biologisnya diluar sel.
Bell dan Roblin (1942), memberikan postulat bahwa aktivitas antibakteri sulfonamida mencapai maksimum bila mempunyai nilai pKa 6-8. Pada pKa tersebut sulfonamida terionisasi kurang lebih 50%. Pada pKa 3-5, sulfonamida terionisasi sempurna, dan bentuk ionisasi ini tidak dapat menembus membran sehingga aktivitas antibakterinya rendah.
Bila kadar  ion kurang lebih sma dengan kadar bentuk molekul (pKa 6-8) , aktivitas antibaterinya akan maksimal. Pada pKa 9-11, penurunan pKa meningkat jumlah sulfonamida yang terionisasi, jumlah senyawa yang menembus membran kecil, sehingga aktivitas antibakterinya rendah.
Menurut Cowles (1942), sulfonamida menembus membran sel bakteri dalam bentuk tidak terionisasinya, dan sudah mencapai reseptor yang bekerja adalah bentuk ion. Contoh obat yang aktif dalam bentuk ion antara lain adalah turunan akridin dan turunan amonium kuarterner.





DAFTAR PUSTAKA

1 komentar

  1. Terimakasih kak Artikel  Emulsi nya sangat membantu dan mudah dipahami


    Emulsi adalah suatu system heterogen yang terdiri dari sebuah fase cair yang tidak tercampur yang terdispersi dalam face cair lainnya

    BalasHapus

 

Blogger news

Most Reading