BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Sistem koloid banyak digunakan pada kehidupan sehari-hari,
terutama dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini disebabkan sifat karakteristik
koloid yang penting, yaitu dapat digunakan untuk mencampur zat-zat yang tidak
dapat saling melarutkan secara homogen dan bersifat stabil untuk produksi dalam
skala besar.Salah satu sistem koloid yang ada dalam kehidupan sehari – hari dan
dalam industri adalah jenis emulsi.
Emulsi merupakan suatu sistem yang tidak stabil, sehinggkan dibutuhkan zat
pengemulsi atau emulgator untuk menstabilkannya sehingga antara zat yang
terdispersi dengan pendispersinnya tidak akan pecah atau keduannya tidak akan
terpisah. Ditinjau dari segi kepolaran, emulsi merupakan campuran cairan
polar dan cairan non polar.Salah satu emulsi yang kita kenal sehari-hari adalah
susu, di mana lemak terdispersi dalam air. Dalam susu terkandung kasein suatu
protein yang berfungsi sebagai zat pengemulsi. Bebera contoh emulsi yang
lain adalah pembuatan es krim, sabun, deterjen, yang menggunakan pengemulsi
gelatin.
Dari hal tersebut diatas maka sangatlah penting untuk
mempelajari sistem emulsi karena dengan tahu banyak tentang sistem emulsi ini
maka akan lebih mudah juga untuk mengetahui zat – zat pengemulsi apa saja yang
cocok untuk menstabilkan emulsi selain itu juga dapat diketahui faktor – faktor
yang menentukan stabilnya emulsi tersebut karena selain faktor zat pengemulsi
tersebut juga dipengaruhi gaya sebagai penstabil emulsi.
Sistem emulsi
termasuk jenis koloid dengan fase terdispersinya berupa zat cairnamun
dalam makalah ini kita hanya akan membahas mengenai sistem
emulsi saja diantaranya dari defenisi emulsi, mekanisme secara kimia dan
fisika, teori dan persamaannya dan serta penerapannya dalam kehidupan sehari –
hari dan industri.
1.2
Tujuan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Teori Emulsifikasi
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, dibuatlah suatu
"Teori Emulsifikasi" yang dapat menjelaskan mengenai hal itu. Teori
emulsifikasi ini dapat terbagi menjadi 2--berdasarkan buku panduan praktikum
farmasi fisika yang saya miliki--yaitu "Teori Tegangan Permukaan" dan
"Teori Oriented-Wedge".
Teori tegangan permukaan menjelaskan bahwa dalam hal
ini, sebuah emulgator dapat membentuk emulsi dengan menurunkan tegangan
permukaannya. Suatu emulsi dapat stabil secara termodinamika apabila energi
bebasnya kecil atau sama dengan nol. Sementara kita tahu bahwa energi bebas
merupakan perkalian antara tegangan permukaan dan luas permukaan.
Sehingga apabila tegangan permukaannya yang
diturunkan, maka dapat menurunkan pula energi bebasnya dan menghasilkan suatu
emulsi yang stabil.
Selain itu, dengan adanya penurunan pada tegangan
permukaan juga dapat mengurangi gaya tolak menolak antara kedua cairan yang
saling tidak bercampur pada awalnya dan juga mengurangi gaya tarik menarik
antara cairan yang sejenis sebagaimana kita tahu bahwa suatu emulsi pada
awalnya merupakan campuran zat cair yang saling tidak bercampur karena kuatnya
gaya kohesi (tarik menarik dengan cairan sejenis) dan juga lemahnya gaya adhesi
(tarik menarik dengan zat cair yang berbeda yang dengan kata lain antara kedua
zat cair, gaya tolak menolaknya besar) sehingga dengan demikian lebih mendorong
kedua cairan untuk saling terpisah.
Kemudian Teori oriented wedge, berdasarkan definisi
per katanya yang wedge artinya pengganjal atau penjepit maka berdasarkan
pemahaman saya sendiri teori tersebut ingin menjelaskan peranan emulgator dalam
pembentukan emulsi yang stabil dengan berperan sebagai suatu pengganjal atau
penjepit.
Dua cairan yang saling terpisah tersebut dengan adanya
emulgator sebagai pengganjal atau penjepit akhirnya dapat saling menyatu.
Kenapa emulgator tersebut bisa mengganjal atau menjepit kedua cairan yang
saling berbeda sifatnya? Karena emulgator tersebut memilki kedua sifat
tersebut. Sebagaimana kita tahu bahwa suatu emulsi yang terdiri dari dua cairan
yang saling tidak bercampur, pada umumnya karena cairan yang satu bersifat
hidrofilik sementara yang satunya lagi bersifat lipofilik. Oleh karena itulah
dalam hal ini, emulgator tersebut dapat menjepit karena memiliki kedua sifat
tersebut. Bagian dari emulgator yang bersifat hidrofilik akan memegang cairan
yang bersifat hidrofilik sementara bagian lainnya dari emulgator yang bersifat
lipofilik memengang cairan satunya lagi yang bersifat lipofilik.
Berdasarkan teori yang kedua ini, bisa diketahui bahwa
suatu emulgator memiliki dua sifat yaitu hidrofilik dan lipofilik. Pada
kenyataannya, distribusi kekuatan sifatnya tersebut tidak sama, hanya salah
satu sifatnya saja yang akan lebih dominan. Ukuran dari keseimbangan antara
sifat hidrofilik dan lipofilik ini ditetapkan dalam suatu ukuran yang disebut
dengan HLB (Hidrofilik Lipofilik Balance).
Dengan adanya HLB tersebut, oleh Griffin, diberikan
suatu skala yang menetapkan bahwa nilai HLB yang kecil menunjukkan sifat
emulgator yang lebih lipofilik sementara yang nilai HLBnya besar menunjukkan
sifat hidrofiliknya yang lebih dominan.
Sebelumnya, perlu diketahui bahwa dalam emulsi ini,
terdapat dua tipe, yaitu tipe A/M (Air dalam Minyak) dan tipe M/A (Minyak dalam
Air). Yang menentukan suatu emulsi merupakan tipe A/M atau M/A adalah jumlah
dari tiap-tiap zatnya. Untuk tipe A/M artinya jumlah air lebih sedikit
dibandingkan minyak sehingga air berperan sebagai zat terdispersi (fase
internalnya) dan minyak berperan sebagai zat pendispersi (fase eksternalnya),
begitu juga sebaliknya, untuk tipe M/A, jumlah minyak sebagai zat terdispersi
lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah air sebagai zat pendispersinya.
Selain jumlah zatnya, HLB suatu emulgator juga dapat
mempengaruhi tipe emulsi. Apabila kita menginginkan untuk membuat emulsi tipe
A/M maka kita harus menggunakan HLB yang sesuai yaitu yang memiliki sifat
lipofilik yang lebih dominan yaitu yang antara 3-6. Sementara apabila kita
menginginkan tipe emulsi M/A maka kita harus menggunakan HLB yang memiliki
sifat hidrofilik yang lebih dominan yaitu yang antara 8-18. Jadi tergantung
dari sifat zat cair pendispersinya yang jumlahnya lebih banyak, apabila yang
jumlah pendispersinya lebih banyak adalah minyak (yang bersifat lipofilik) maka
HLB yang digunakan haruslah yang sesuai dengan yang jumlahnya lebih banyak
yaitu yang HLBnya kisaran lipofilik juga (3-6) begitu pula sebaliknya. Dengan
kata lain, apabila tidak sesuai maka tipe emulsi yang diinginkan mungkin tidak
dapat tercapai. Sekiranya pemahaman saya terkait yang satu ini begitu, apabila
ternyata salah, saya mohon maaf.
Dalam hal ini fungsi dari
mengetahui harga HLB tiap emulgator adalah untuk mengetahui seberapa banyak
emulgator yang dibutuhkan sebenarnya sampai pada harga HLB berapa hingga dapat
membentuk emulsi yang optimal dan stabil. Tiap jenis minyak memiliki HLB butuhnya
masing-masing, misalnya saja parrafin liquid, parrafin liquid memiliki HLB
butuh 12, artinya untuk dapat membentuk suatu emulsi yang stabil dengan jenis
minyak ini, perlu menggunakan emulgator dengan kisaran HLB demikian.
Diketahuinya HLB butuh parrafin liquid adalah sebesar 12, ditentukan
berdasarkan percobaan. HLB butuh ini juga tergantung dari tipe emulsi yang
diinginkan, akan berbeda apabila kita ingin membuat emulsi dengan parrafin
liquid tetapi tipe emulsinya M/A maka HLB butuhnya menjadi 5.
2.2 Stabilitas
Fisika Emulsi
Stabilitas Emulsi
Sebagaimana diketahui, alaminya minyak dan air tidak
bisa menyatu. Keduanya akan cenderung untuk memisah. Hal ini karena adanya
adanya tegangan antar muka di antara keduanya. Tegangan antar muka ini
menyebabkan setiap permukaan air dan minyak membutuhkan energy. Semakin banyak
permukaan air yang bertemu atau berbatasan dengan permukaan minyak, maka
semakin banyak pula energy yang dibutuhkan untuk mempertahankan kondisi
tersebut. Namun, dalam emulsi, keduanya “dipaksa” untuk menyatu, artinya
semakin banyak permukaan air yang “dipaksa” untuk bertemu dengan permukaan
minyak. Akibatnya, energy yang dibutuhkan pun semakin besar. Karena tidak ada
supply energy, maka ketika didiamkan kedua fase tersebut akan cenderung untuk
memisah agar antar muka yang saling bersinggungan semakin sedikit. Keadaan
seperti inilah yang disebut sebagai rusaknya suatu emulsi atau ketidakstabilan
emulsi.
Mekanisme ketidakstabilan emulsi ini dapat terjadi
melalui beberapa jalan, yaitu:
Coalescence: yaitu
peristiwa 2 tetesan minyak (atau air) bersatu dan membentuk membentuk suatu
tetesan baru yang lebih besar tetapi memiliki luas permukaan yang jauh lebih
kecil dibandingkan dengan jika tetesan baru tersebut pecah menjadi tetesan –
tetesan kecil seperti semula. Jika dibiarkan, hal ini akan terus berlangsung
hingga semua tetesan minyak (atau air) menyatu dan akhirnya membentuk lapisan
sendiri yang terpisah dari emulsi.
Flocculation atau
Flokulasi adalah suatu peristiwa berkumpulnya beberapa tetesan minyak tetapi
tidak membentuk tetesan minyak baru yang lebih besar seperti pada peristiwa
coalescence hingga mengakibatkan distribusinya dalam emulsi tidak merata (tidak
homogeny lagi).
Peristiwa coalescence dan flocculation secara bersama – sama akan
menyebabkan peristiwacreacking atau breaking. Peristiwa
ini mungkin disebabkan oleh ketidaktepatan pemilihan emulgator dalam formulasi,
emulgator mengalami dekomposisi, atau temperature penyimpanan yang tidak
sesuai. Problem ini tidak cukup diatasi hanya dengan penggojigan ringan. Dengan
kata lain, emulsi yang mengalami hal ini telah rusak sama sekali.
Creaming yaitu
peristiwa mengapungnya fase minyak. Hal ini terjadi jika fase minyak memiliki
densitas yang lebih kecil daripada fase air. Definisi lain menyebutkan bahwa
creaming merupakan peristiwa memisahnya emulsi menjadi 2 bagian dengan salah
satu bagian mengandung lebih banyak fase disperse daripada bagian yang lain.
Hal ini mungkin disebabkan karena homogentias emulsi ketika formulasi kurang
tetapi masalh ini bisa diatasi dengan penggojogan ringan.
Phase Inversion atau pembalikan fase emulsi yang semula O/W menjadi W/O atau sebaliknya. Hal ini mungkin disebabkan terlalu banyaknya fase disperse (mencapai lebih dari 74%). Masalah ini juga tidak dapat diatasi hanya dengan penggojogan ringan.
Sedangkan bentuk – bentuk ketidak stabilan dari
emulsi sendiri ada beberapa macam yaitu
sebagai berikut :
· Flokulasi, karena kurangnya zat pengemulsi
sehingga kedua fase tidak tertutupi oleh lapisa pelindung sehingga terbentuklah
flok –flok atau sebuah agregat
· Koalescens, yang disebabkan hilangnya lapisan
film dan globul sehingga terjadi pencampuran
· Kriming, adanya pengaruh gravitasi membuat
emulsi memekat pada daerah permukaan dan dasar
· Inversi massa (pembalikan massa ) yang terjadi
karena adannya perubahan viskositas
· Breaking/demulsifikasi, lapisan film mengalami
pemecahan sehingga hilang karena pengaruh suhu.
(Ladytulipe, 2009)
2.3 Evaluasi Stabilitas Fisika Emulsi
Evaluasi
Tipe Krim
a.
Metode Pengenceran
Krim yang jadi dimasukkan ke dalam vial, kemudian diencerkan de-ngan air. Jika emulsi dapat diencerkan maka tipe emulsi adalah tipe m/a.
b.
Metode Dispersi Zat
Warna
Emulsi yang dibuat dimasukkan ke dalam vial, kemudian ditetesi de-ngan
beberapa tetes larutan biru me-tilen. Jika warna biru segera
terdispersi ke seluruh emulsi maka tipe emulsinya adalah
tipe m/a.
Evaluasi Kestabilan
a. Pemeriksaan Hasil Jadi Krim
Pengamatan organoleptis dila-kukan
terhadap sediaan krim, meliputi perubahan warna dan bau
sebelum dan setelah kondisi penyimpanan diperce-pat.
b. Pengukuran Volume Kriming
Sebanyak
25 ml krim dimasuk-kan
ke dalam gelas ukur kemudian diberi kondisi
penyimpanan dipercepat yaitu penyimpanan selang seling pada suhu 5oC dan 35oC masing-masing
selama 12 jam sebanyak 10 siklus. Pengamatan volume kriming dilakukan setiap 1
siklus penyimpanan. Volume kriming dihitung dengan %
rumus :
Volume kriming
Hu = Volume emulsi yang kriming, dan H0 = Volume total krim
Pengukuran
Viskositas
Pengukuran viskositas dilaku-kan
terhadap sediaan krim sebelum dan setelah diberi kondisi penyimpanan dipercepat
yaitu penyimpanan selang-seling pada suhu 5oC dan 35oC
masing-masing selama 12 jam sebanyak 10 siklus. Viskositas
diukur dengan visko-meter
Brookfield dengan menggunakan “spindle” no. 6.
Pengukuran Tetes
Terdispersi
Sediaan dimasukkan ke dalam
vial, kemudian dilakukan pengukuran tetes
terdispersi sebelum dan setelah diberi kondisi penyimpanan dipercepat.
Pengamatan ukuran tetes terdispersi di-lakukan
dengan mikroskop.
Inversi Fase
Sediaan yang telah jadi diberi kondisi
penyimpanan dipercepat diuji kembali tipe emulsinya dengan metode pengenceran
dan metode dispersi zat warna metilen biru.5o C dan 35o
C.
2.4
Hubungan Ionisasi dan ikatan hidrogen
IONISASI
DAN AKTIVITAS BIOLOGIS
1. Obat
yang aktif dalam bentuk tidak terionisasi
Sebagian besar obat yang
bersifat asam atau basa lemah, bentuk tidak terionisasinya dapat memberikan
efek biologis. Hal ini dimungkinkan bila bekerja obat terjadi di membran sel
atau didalam sel. Contohnya fenobarbital, turunan asam barbiturat yang bersifat
asam lemah, bentuk tidak terionisasinya dapat menembus sawar darah otak dan
menimbulkan efekpenekan fungsi sitem saraf pusat dan pernapasan.
Obat modern sebagian
besar bersifat elektrolit lemah, yaitu asam atau basa lemah, dan derajat
ionisasi atau bentuk ionisasi dan tidak terionisasinya ditentukan oleh nilai
pKa dan suasana pH lingkungan. Hubungan antara pKa dengan fraksi obat
terionisasi dan yang tidak terionisasi dari obat yang bersifat asam atau basa
lemah, dinyatakan melalui persamaan Henderson-Hasselbech, sebagai berikut:
Untuk asam lemah: pKa =
pH + log Cu/Ci
Untuk basa lemah : pKa =
pH + log Ci/Cu
Perubahan pH dapat
berpengaruh terhadap sifat kelarutan dan koefisien partisi obat. Garam dari
asam atau basa lemah, bentuk tidak terionisasinya mudah diabsorpsi oleh saluran
cerna, dan aktivitas biologis sesuai dengan kadar obat bebas yang terdapat dalam
cairan tubuh.
Pada obat yang bersifat
asam lemah, dengan meningkatnya pH, sifat ionisasi bertambah besar, bentuk tak
terionisasi bertambah kecil, sehingga jumlah obat yang menembus membran
biologis semakin kecil. Akibatnya, kemungkinan obat untuk berinteraksi dengan
reseptor semakin renda aktivitas biologisnya semakin menurun.
Pada obat yang bersifat
basa lemah, dengan meningkatnya pH, sifat ionisasi bertambah kecil, bentuk tak
terionisasinya semakin besar, sehingga jumlah obat yang menembus membran
biologis bertambah besar pula. Akibatya, kemungkinan obat untuk beriteraksi
dengan reseptor bertambah besar dan aktivitas biologisnya semakin meningkat.
Perubahan pH juga
berpengaruh terhadap kereaktifan gugus asam atau basa pada permukaan sel atau
dalam sel mikroorganisme. Pada titik isoelektrik, kation dan anion
potensial molekul protein sel, misal gugus amino dan karboksilat pada alanin,
selalu terdapat dalam bentuk ion Zwitter. Dengan bertingkatnya pH atu bertambah
basa media, kadar anion sel akn bertambah besar sehingga meningkatkan aktivitas
obat yang bersifat kation aktif. Sebaliknya, dengan menurunnya pH atau ertambah
asam media, kadaar kation sel akan menjadi lebih besar, sehingga meningkatkan
afinitas obat anion aktif.
2. Obat
yang aktif dalam bentuk ion
Beberapa senyawa obat
menunjukkan aktivitas biologis yang makin meningkat bila derajat ionisasinya
meningkat. Seperti diketahui dalam bentuk ion senyawa obat umumnya
sulit menenbus membran biologis, sehingga diduga senyawa obat dengan tipe ini memberikan
efek biologisnya diluar sel.
Bell dan Roblin (1942),
memberikan postulat bahwa aktivitas antibakteri sulfonamida mencapai maksimum
bila mempunyai nilai pKa 6-8. Pada pKa tersebut sulfonamida terionisasi kurang
lebih 50%. Pada pKa 3-5, sulfonamida terionisasi sempurna, dan bentuk ionisasi
ini tidak dapat menembus membran sehingga aktivitas antibakterinya rendah.
Bila kadar ion
kurang lebih sma dengan kadar bentuk molekul (pKa 6-8) , aktivitas
antibaterinya akan maksimal. Pada pKa 9-11, penurunan pKa meningkat jumlah
sulfonamida yang terionisasi, jumlah senyawa yang menembus membran kecil,
sehingga aktivitas antibakterinya rendah.
Menurut Cowles (1942),
sulfonamida menembus membran sel bakteri dalam bentuk tidak terionisasinya, dan
sudah mencapai reseptor yang bekerja adalah bentuk ion. Contoh obat yang aktif
dalam bentuk ion antara lain adalah turunan akridin dan turunan amonium
kuarterner.
DAFTAR
PUSTAKA
Terimakasih kak Artikel Emulsi nya sangat membantu dan mudah dipahami
BalasHapusEmulsi adalah suatu system heterogen yang terdiri dari sebuah fase cair yang tidak tercampur yang terdispersi dalam face cair lainnya